Dewasa. Sebuah kata yang sejuk terdengar di telinga. Siapa yang tidak ingin menjadi dewasa? Bukan hanya dewasa secara fisik, tetapi juga psikis. Menjadi dewasa, berarti kita telah mampu mengakulturasikan logika dan sanubari. Apa yang ada di otak kita akan dialirkan menuju hati, begitulah sebaliknya.
Menangis dengan dewasa.
Bersedih dengan dewasa.
Melangkah dengan dewasa.
Bertutur dengan dewasa.
Melangkah dengan dewasa.
Bertutur dengan dewasa.
Marah dengan dewasa.
Berjalan dengan dewasa.
Berpikir dengan dewasa.
Dan masih banyak aplikasi sebuah kedewasaan dalam tradisi tata laku dan tata wicara orang perorang.
Seseorang dengan kadar kedewasaan tinggi, tak jarang menjadi sosok inspirator dan sumber kekaguman sesama. Sebaliknya, seseorang dengan kadar kedewasaan yang jauh di bawah usia fisiknya, lebih banyak hanya menjadi sorotan pandang yang cenderung negatif, bahkan hanya dilihat sekilas karena hanya dipandang sebelah mata. Memang tidak ada aturan ataupun konvensi yang mengharuskan seseorang menjadi dewasa (dalam hal psikis). Tetapi, apakah kita hanya akan menjadikan kedewasaa hanya sebagai wacana tanpa aplikasi? Kedewasaan tidak melulu disandang orang yang pendiam. Orang yang banyak kata (baca:cerewet) juga bisa menyandang "gelar" ini. Hmm... Indahnya berteman dengan kedewasaan. Berteman dengannya membuat hidup lebih bisa dinikmati. Karena kedewasaan hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang telah mampu meresapi makna hidup. Hidup terasa indah, bila kita bisa berteman dengan kata sakti ini. Eits salah, bukan kata, tetapi sifat. Karakter. Ciri khas. Yang bisa menentukan hal apa yang akan dilakukan oleh seseorang. Semakin ingin menambah kadar kedewasaan. Sampai tua. Sampai bertemu Tuhan nanti. Kan kukumpulkan poin-poin kedewasaan dan kumasukkan dalam kantong-kantong kehidupanku. Semoga kantong kehidupanku kan bisa terisi penuh olehnya.
^amiin^
Komentar
Posting Komentar