Langsung ke konten utama

Ketika Sabtuku Berakhir di ...

Di ..... Di mana?

Jadi, kisah ini berawal dari empat sekawan yang berencana untuk “mbolang” ke Wonogiri naik Bathara Kresna. Yah, sebagai remaja #eh udah nggak remaja lagi *waks… Yah, sebagai orang gaul kota Solo, tentu saja kami-kami nggak mau sampai ketinggalan euforia naik di railbus itu.

Kami berencana mengambil kereta pukul 06.24. Alhasil, pukul 05.30 kami sudah cuuusssss ke Stasiun Sangkrah. Sampai di stasiun, weeeee lhaaa dalaaaahh.. Ruamene rek. Ruamene ra karuan. Sampek ga isoh dibiyak. (Ramai sekali, sampai tidak ada celah).

Hiks… dengan wajah sendu kami pun keluar stasiun dengan semangat lesu. 

“Wonogiri gagal, Gaes. Kita mau ke mana nih?” Ucapku memecah kebuntuan.

“Jogja aja, yuk!” Sahut salah satu teman.

“Oke. Yuk!” Jawab yang lain bersamaan.

Akhirnya, kami gowes motor lagi ke stasiun Balapan.


Ning stasiun Balapan

Kutha Solo sing dadi kenangan

Kowe karo aku 

uuuuuu…………



Baru sampai pintu masuk (dan belum sampai masuk), kami dicegat sama bapak petugas parkir. Tampangnya broo, uh! Nggak ramah banget. Si bapaknya bilang, “Meh nang Jogja? Tikete wes entek. Kono nang Purwosari wae.” (Mau ke Jogja? Tiketnya sudah habis. Sana ke Purwosari saja).

Akhirnya, kami pun gowes lagi ke Purwosari. Saat itu jarum jam belum genap meunjukkan pukul 07.00. Eh, kami udah sukses keliling Solo. Untung masih sepi. Jadi jalan kayak milik sendiri. Xixixi…

Sesampainya kami di Stasiun Purwosari. Ulala…. ini antrean beli tiket apa antre sembako? Ya Tuhaaaannn…. antreannya udah kayak ular kobra yang panjangnya 300 meter. 

“Biadala… Sangsoyo ra isoh dibiyak iki, Mbak.” Celetuk Nubrul, si hitam manis yang kesehariannya berlogat genit dan cerewet bukan main. (Ya ampun, ini lebih parah lagi)

“Iyo i. Awake dewe entuk tiket ra ki kiro-kiro? Gek yen meh antri, meh antri seko ngendi?” Jawabku sekenanya. (Iya. Kira-kira kita kebagian tiket nggak nih?)

Kami berempat pun memutuskan untuk kembali ke tempat parkir sembari memutuskan tujuan “mbolang” kami. 

“Wonogiri gagal. Jogja gagal. Meh nangdi yo ki?” Gumam Mbak Ita. Satu-satunya cewek berkulit putih di sini. *xixixi (Wonogiri gagal. Jogja gagal. Kita mau ke mana nih?)

“Hmmm… kalau ke Parang Ijo gimana? Kan deket tuh? Kalo naik motor nggak sampai capek.” Sahut Septi. Si manis yang hidungnya bikin iri. Mancungnyaaaa…

“Kalo ke Jogja nggak berani? Aku sih oke-oke aja.” Aku turut menimpali.

“Ojo, Mbak. Kesel aku ngko.” Tukas Septi kembali. (Jangan, Mbak. Aku nanti capek)

“Yawes. Parang Ijo aja. Yuk kita berangkat. Mumpung masih pagi.” Balasku.

Akhirnya, sekitar pukul 07.20 kami melanjutkan jelajah hari ke Parang Ijo. Parang Ijo adalah air terjun yang terletak di lereng Gunung Lawu dan memiliki ketinggian sekitar 50 m.  Air terjun ini berjarak tempuh sekitar 20 menit dari komplek wisata candi Cetho.

Sekitar pukul 07.55 kami sampai di sana. Petugas pintu masuk belum datang. Ihir, gratisan! 

Ah, sudahlah. Gratisan dari mana? Itu lihat, lhawong tukang parkirnya udah stand bye di sana.

Kan itu tukang parkir.

Coba dilihat. Itu bawa tiket masuk.

Kyaaaa… gagal gratisan.

Hihi.. yawes ndak apa-apa. Toh, berempat cuma bayar Rp 16.000,00 plus parkir. Wes termasuk murah iku rek.

*pura-puranya lagi perang batin gitu.

Jadilah Sabtu kemarin (21/3) kami menikmati keelokan air terjun yang terjun bebas dari atas. Foto sana foto sini. Jepret sana jepret sini. Bergaya dengan banyak pose. Yuhuuu… ada sekitar 200-an foto yang nangkring di HP. 

Yah, begitulah kiranya cerita dari saya. Kalau ada yang salah saya mohon maaf. Kalau ada benarnya itu datangnya dari Allah SWT. (Eh, kok kayak pengajian). Hehe… udah. Gitu aja. Bye bye.

NB: Foto menyusul ya? *pletak! Wah, kena timpuk.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Banyak Ditentang, Sebenarnya Childfree Itu Sebuah Ancaman Atau Ketidaksiapan Atas Perbedaan?

Ada netizen yang upload foto anaknya 24/7, society fine-fine saja. Namun, ketika ada seorang netizen upload pendapat pribadi, di lapak sendiri, testimoni pribadi pula, dianggap sebagai ancaman. Yakni seseorang yang memilih Childfree!!! Padahal kalau dipikir-pikir,  manusia itu makhluk dinamis. Apa yang dipikirkan detik ini, belum tentu lima menit berikutnya masih disepakati. Manusia itu makhluk terlabil sedunia, Beb. 😁 No offens, ya Ges ya. Ak cuma menyoroti kenapa kita enggak siap menerima perbedaan. Soal perlakuan bar-bar Gitasav juga, pernah enggak kalian riset atau apa, ya, istilahnya, merenung #halah kenapa seorang Gitasav bisa sebrutal itu ke netizen? Lelahkah ida? Karena jauuuuh sebelum masalah childfree, ada soal ‘stunting’ juga yang dia sebut, dia juga sudah sering diserang dan dikata-katain. Hehe Istilahnya, ojo jiwit yen ora gelem dijiwit. Pas Gitasav nyerang balik, eh, netijen baper ✌️🫢🏻 Eh, ini saya bukan lagi membela ea. Cuma mencoba melihat dari 2 sisi. Soalny...

KENAPA ORANG LEBIH SUKA NGASIH NASIHAT KETIMBANG SEMANGAT?

 Netijen: Lebay banget sih, gitu aja distatusin? Lo kere ya? Sampai ga bisa makan? Me: Anjay. πŸ˜‚ Cara tiap orang mengelola emosi, cara orang menghadapi masalah diri, cara orang untuk 'ngomong' itu beda-beda keleus. Kalau kamu tipe penyabar, tipe diem doang saat dihadapkan sama masalah yang sama kaya saya, ya monggo. Dipersilakan. Saya malah salut. Karena orang sabar disayang Tuhan. Saya punya cara sendiri. Urusan ga sabar, urusan ga disayang Tuhan, itukan hak prerogatif Tuhan.  Kasus beda perlakuan, beda cara memperlakukan warga, tetangga, itu udah jadi persoalan klasik di setiap masyarakat. Hambok deloken chat di WhatsApp ku. Isine wong do curhat. Cuma mereka orangnya sabar, jadi diem aja.  Saya ga masalah kok engga dapat beras, engga dapat sembako, saya punya duit. Alhamdulilah.  Yang jadi masalah adalah ... beda perlakuan. Kenapa harus membeda-bedakan? Berarti kasus ada tetangga mati sampai berhari-hari itu karena kasus kaya gini? Alhamdulillahnya, kemarin Pak RT ...

AWE SAMBAT #4

  Tuhan, pengen nabung nih. Banyak yang pengen saya lakukan. Butuh banyak uang. Boleh minta kerjaan? Tuhan pun ngasih kerjaan. . . Orang sukses: Alhamdulillah, ada kerjaan. Kerja kerja kerja! Selesai. Me: Alhamdulillah, ada kerjaan. Tapi, nanti aja deh. Lagi mager. Besoknya. DL masih lama. Ntar aja. Besoknya lagi. Ntar aja pas mepet DL. Pas udah DL. Ya ampun, gimana nih? Ak kudu mulai dari mana? *** Kaya gitu kok suka ngeluh hidup "cuma gitu-gitu aja". Flat. Monoton. Ya emang kamunya (kamu, We) ga ada aksi. Ga mau berubah. Udah gitu masih bisa senyam-senyum pula. Gila!