Langsung ke konten utama

Mbak...

Kalau sedang kalut begini, biasanya kita sepakat ya, Mbak. Pergi ke sawah. Naik motor. Cekikikan di jalan. Beli gado-gado dan jus. Ah, kau suka sekali dengan jus mangga, sedangkan aku masih setia dengan alpokat. Kita lanjutkan perjalanan dengan melewati jalan desa yang super. Super? Yep. Coba kamu hitung berapa polisi tidur yang harus membuat kita "mentul-mentul" untuk mencapai sawah.

Sesampai sawah, kita cari gubuk yang sepi. Kita duduk berdua di sana. Kita makan bawaan kita tadi. Kita nikmati berdua ya, Mbak.

Setelah habis, kita kemudian memperbaiki posisi duduk. Mengambil posisi menghadap hamparan sawah. Kita pandangi pucuk padi. Lalu kita berdua terdiam sejenak. Menikmati pemandangan. Selang beberapa waktu kemudian, obrolan pun dibuka. Bahasan soal kekalutan yang sedang bersemi di dada kita.

Itu satu kekalutan.

Jika muncul kekalutan lain, kita biasa kencan menonton wayang orang di Sriwedari. Dengan modal jagung rebus dan tempe mendoan kita masuk ke GWO. Tiketnya murah ya, Mbak. Cuma 3 ribu. Dari jam 8 sampai 10 malam. Masuk ke GWO, kita lihat pertunjukan para wayang dengan gerak-geriknya. Biarpun bahasanya kerap tak kumengerti, tapi kita selalu saja bisa menikmatinya.

Mbak...

(tarawih dulu).


18 Juli 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Banyak Ditentang, Sebenarnya Childfree Itu Sebuah Ancaman Atau Ketidaksiapan Atas Perbedaan?

Ada netizen yang upload foto anaknya 24/7, society fine-fine saja. Namun, ketika ada seorang netizen upload pendapat pribadi, di lapak sendiri, testimoni pribadi pula, dianggap sebagai ancaman. Yakni seseorang yang memilih Childfree!!! Padahal kalau dipikir-pikir,  manusia itu makhluk dinamis. Apa yang dipikirkan detik ini, belum tentu lima menit berikutnya masih disepakati. Manusia itu makhluk terlabil sedunia, Beb. 😁 No offens, ya Ges ya. Ak cuma menyoroti kenapa kita enggak siap menerima perbedaan. Soal perlakuan bar-bar Gitasav juga, pernah enggak kalian riset atau apa, ya, istilahnya, merenung #halah kenapa seorang Gitasav bisa sebrutal itu ke netizen? Lelahkah ida? Karena jauuuuh sebelum masalah childfree, ada soal ‘stunting’ juga yang dia sebut, dia juga sudah sering diserang dan dikata-katain. Hehe Istilahnya, ojo jiwit yen ora gelem dijiwit. Pas Gitasav nyerang balik, eh, netijen baper ✌️🫢🏻 Eh, ini saya bukan lagi membela ea. Cuma mencoba melihat dari 2 sisi. Soalny...

KENAPA ORANG LEBIH SUKA NGASIH NASIHAT KETIMBANG SEMANGAT?

 Netijen: Lebay banget sih, gitu aja distatusin? Lo kere ya? Sampai ga bisa makan? Me: Anjay. πŸ˜‚ Cara tiap orang mengelola emosi, cara orang menghadapi masalah diri, cara orang untuk 'ngomong' itu beda-beda keleus. Kalau kamu tipe penyabar, tipe diem doang saat dihadapkan sama masalah yang sama kaya saya, ya monggo. Dipersilakan. Saya malah salut. Karena orang sabar disayang Tuhan. Saya punya cara sendiri. Urusan ga sabar, urusan ga disayang Tuhan, itukan hak prerogatif Tuhan.  Kasus beda perlakuan, beda cara memperlakukan warga, tetangga, itu udah jadi persoalan klasik di setiap masyarakat. Hambok deloken chat di WhatsApp ku. Isine wong do curhat. Cuma mereka orangnya sabar, jadi diem aja.  Saya ga masalah kok engga dapat beras, engga dapat sembako, saya punya duit. Alhamdulilah.  Yang jadi masalah adalah ... beda perlakuan. Kenapa harus membeda-bedakan? Berarti kasus ada tetangga mati sampai berhari-hari itu karena kasus kaya gini? Alhamdulillahnya, kemarin Pak RT ...

AWE SAMBAT #4

  Tuhan, pengen nabung nih. Banyak yang pengen saya lakukan. Butuh banyak uang. Boleh minta kerjaan? Tuhan pun ngasih kerjaan. . . Orang sukses: Alhamdulillah, ada kerjaan. Kerja kerja kerja! Selesai. Me: Alhamdulillah, ada kerjaan. Tapi, nanti aja deh. Lagi mager. Besoknya. DL masih lama. Ntar aja. Besoknya lagi. Ntar aja pas mepet DL. Pas udah DL. Ya ampun, gimana nih? Ak kudu mulai dari mana? *** Kaya gitu kok suka ngeluh hidup "cuma gitu-gitu aja". Flat. Monoton. Ya emang kamunya (kamu, We) ga ada aksi. Ga mau berubah. Udah gitu masih bisa senyam-senyum pula. Gila!