Put on a happy face |
Entah kenapa saya ga tercipta pandai dalam menganalisa. Yang saya bisa hanya melihat segala sesuatu dari sudut pandang 'receh' ala saya.
Selamat menikmati opini; yang sangat cetek dan random ini.
***
Selamat menikmati opini; yang sangat cetek dan random ini.
***
Saya ga hobi nonton film di bioskop, kecuali emang bener-bener menarik hati atau dibayari #LOL. Namun, kemarin sepupu saya ngotot ngajakin saya nonton. Dia cerita klo rate film Joker itu 9,5 dari 10. Kan saya ya akhirnya luluh. Apalagi saya kan baru interest banget sama yang namanya Mental Illness. Ga tau yes, rasanya asyik aja mempelajari psikologi. Terutama bab mental illness.
Gara-garanya, salah satu media Nasional memberitakan seorang mahasiswa S2 di salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia ditemukan tewas gantung diri di kamar kosnya. Lebih membuat kaget, dia satu desa sama saya.
Saya tahu rumahnya. Saya pernah bengkelin motor saya di bengkel bapaknya. Klo ga salah ingat, saya kayanya pernah ketemu dia. Ya pas saya mbengkel itu.
Bapak ibunya alim, ramah, dan religius. Si anaknya? Pendiem sih. Tapi dari penampilan sih kayanya religius juga.
Nobody knows ... Dia memilih untuk mengakhiri hidup dengan cara tragis.
Syok!
Karena ga lama setelah berita kematiannya di-blow up media, artikel-artikel di blog pribadinya, yang rerata berisi curhat dirinya, turut terbongkar juga.
Saya baca artikel itu satu-satu.
Ngenes.
Ga nyangka juga. Dilihat dari luar tampilannya ga menunjukkan klo dia depresi.
Blog pribadinya, menggambarkan dengan jelas apa yang dirasanya selama ini. Berulang kali dia menulis kata: death, mati, dan ... bunuh diri.
Ternyata dia berniat bunuh diri sejak tahun lalu. Namun, baru kemarin dia punya 'nyali' melakukannya.
Dia depresi. Dia merasa terasing. Dia merasa ... sendiri.
Sangat disayangkan memang.
*
*
*
Yep. Sejak saat itu, saya bener-bener merasa harus lebih aware dan care lagi menjadi manusia. Jangan-jangan ada di antara teman saya, yang kelihatannya baik-baik saja, nyatanya menyimpan luka menganga di hatinya.
Terlebih tak lama setelah itu, keluar film Joker ini. Di Sabtu malam, saya akhirnya nonton sama sepupu. Karena saya penakut, jadilah sebelum nonton saya lihat review-reviewnya dulu. Mereka bilang, Joker adalah korban lingkungan. Ada yang bilang, Joker adalah lambang situasi saat ini. Di mana kebaikan tak berarti lagi. Di mana orang tak lagi peka terhadap orang di sekitarnya.
Selama menonton, banyak ketegangan yang saya rasakan. Saya serasa masuk menjadi sosok Arthur Flex. Satu jam pertama kita akan disuguhi perjalanan hidup Arthur Flex yang rumit.
Menurut saya, si Arthur ini dipermainkan habis-habisan oleh hidup. Dikhianati temannya, difitnah, dipaksa untuk selalu 'happy' selama hidupnya oleh .... ibunya. Yang ternyata ... hanya ibu tiri.
Ibu tiri Arthur menawarkan banyak kehaluan dan delusi. Salah satu kehaluan luar biasa saat ia mengiring Arthur untuk berpikir bahwa ia adalah putra Thomas Wayne.
Halunya semakin menjadi-jadi saat ia merasakan kebahagiaan haqiqi dengan punya tambatan hati. Tempat ia meluapkan keluh kesah. Memberi dukungan moril. Padahal itu semua hanya halusinasi.
Halunya semakin menjadi-jadi saat ia merasakan kebahagiaan haqiqi dengan punya tambatan hati. Tempat ia meluapkan keluh kesah. Memberi dukungan moril. Padahal itu semua hanya halusinasi.
Arthur semakin dipermainkan oleh takdir saat tahu bahwa ibunya ternyata pengidap schizophrenia. Hidupnya penuh dengan delusi.
Hingga saat ia dengan tak sengaja membunuh 3 pekerja wall street di dalam kereta. Arthur tahu bahwa ia sakit mental, tapi ia masih belum 'ngeh' klo dia sebenarnya mengidap penyakit yang kurang lebih sama dengan ibunya: schizophrenia.
Pembunuhan pertama, sempat muncul rasa ketidakpercayaan di dirinya. Apa benar ia telah melakukan pembunuhan?
Namun adegan menari di toilet, seakan menandakan 'kebangkitan' seorang Arthur Flex.
Ia mulai menyadari ada yang tidak beres dengan orang-orang di sekitarnya. Ia pun mulai melakukan perlawanan.
Ia mulai berani menunjukkan siapa dia. Ia membunuh ibunya, membunuh teman yang telah mengkhianatinya. Ia pun 'memanfaatkan' keadaan untuk membunuh 2 detektif yang menyelidiki kasusnya.
Namun begitu, ia tak tertarik membunuh teman yang selama ini baik kepadanya. Jadi, Arthur Flex hanya membunuh orang yang 'memang seharusnya' dibunuh.
Namun begitu, ia tak tertarik membunuh teman yang selama ini baik kepadanya. Jadi, Arthur Flex hanya membunuh orang yang 'memang seharusnya' dibunuh.
Ia tak segan membunuh Murray Franklin saat siaran live program TV nya. Arthur yang menyadari bahwa ia diundang hanya untuk dipermalukan, merencanakan pembunuhan itu. Yang ternyata ... justru menginspirasi warga Gotham untuk 'beraksi'. Keadaan Gotham waktu itu memang sudah 'berbahaya'. Bagaimana korupsi merajalela. Yang kaya semakin kaya, yang miskin makin tertindas. Dan warga sudah muak dengan itu semua.
Apa yang dilakukan Arthur Flex seakan jadi bom atom. Meledak! Hingga polisi pun tak punya daya.
Selesai nonton, saya makin berpikir bahwa ....
Arthur bosan ditanya oleh psikiater dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Dia muak. Dia mulai susah mengendalikan dirinya. Dia hanya butuh obat untuk lebih 'mengontrol' mood yang bisa meledakkan tawa yang tak pernah diharapkannya.
Ia terus tertawa. Tanpa bisa dikendalikannya.
Ia terus tertawa, sambil menahan sesak di dada.
Arthur bosan ditanya oleh psikiater dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Dia muak. Dia mulai susah mengendalikan dirinya. Dia hanya butuh obat untuk lebih 'mengontrol' mood yang bisa meledakkan tawa yang tak pernah diharapkannya.
Ia terus tertawa. Tanpa bisa dikendalikannya.
Ia terus tertawa, sambil menahan sesak di dada.
Orang jahat jadi jahat pun (ternyata) ada alasan di baliknya (kan?)
*
*
*
Ditambah lagi berita menggemparkan kemarin. Sulli ex f(x) ditemukan gantung diri di rumahnya. Sebelum keluar dari f(x) Sulli dikenal sebagai anak baik. Imej nya adalah seorang gadis lugu, cantik, dan punya senyum menawan. Namun semenjak dia keluar dari f(x), Sulli mulai menunjukkan sisi lain dirinya. Jika boleh jujur, saya sebenarnya ga suka dengan apa yang dia lakukan selama ini. Cuman, saya ya bersikap biasa aja. Saya juga ga follow IG-nya. Toh, Sulli ga ganggu hidup saya. Saya berpikiran klo Sulli cuma ingin menunjukkan siapa dirinya. Dia ingin jadi dirinya sendiri. Dia ingin mencitrakan diri sesuai dengan citra yang dia kehendaki.
Mengutip kalimat Amber f(x): "You can have your opinion, but you shouldn't hurt other people."
Mengutip kalimat Amber f(x): "You can have your opinion, but you shouldn't hurt other people."
Apa yang ditampilkannya selama ini bukanlah 'tampilan' yang diharapkan para netizen yang terhormat. Haters setiap hari mencaci. Mencemooh tiap kali Sulli live di Instagram. Mengatakan hal-hal menyakitkan.
Ga suka sama Sulli? Ya jangan follow IG-nya. Ga usah nonton filmnya. Ga usah nonton dramanya. Gitu aja repot amat sih?
Ga suka sama Sulli? Ya jangan follow IG-nya. Ga usah nonton filmnya. Ga usah nonton dramanya. Gitu aja repot amat sih?
Sampai dia ditemukan gantung diri pun, masih ada hater yang berbicara buruk tentangnya. Plis deh haterrrsss, hati kalian di manaaa?
Teruntuk Sulli, kamu hebat, karena bisa bertahan sampai sejauh ini.
Rest in Peace, Choi Jinri.
Beautiful smile |
*
*
*
Simpulannya ...
Orang 'religius' bunuh diri ada lho.
Orang 'baik' mendadak jadi antisosial banyak lho.
Fyi, mental illness itu bisa menyerang siapa saja.
Judging alias menilai orang seenak udel sendiri emang enak sih. Tapi, kita bisa juga lho memilih opsi lain: ga judgemental.
Karena sejatinya ... setiap orang pasti punya alasan.
Kadang, kita merasa hidup kita baik-baik aja. Bahagia menjalani aktivitas seperti biasa. Semua terasa nikmat. Namun yang bikin ga nikmat tuh ya omongan netijen yang mengandung banyak toxic nan nylekit.
***
Orang 'religius' bunuh diri ada lho.
Orang 'baik' mendadak jadi antisosial banyak lho.
Fyi, mental illness itu bisa menyerang siapa saja.
Judging alias menilai orang seenak udel sendiri emang enak sih. Tapi, kita bisa juga lho memilih opsi lain: ga judgemental.
Karena sejatinya ... setiap orang pasti punya alasan.
Kadang, kita merasa hidup kita baik-baik aja. Bahagia menjalani aktivitas seperti biasa. Semua terasa nikmat. Namun yang bikin ga nikmat tuh ya omongan netijen yang mengandung banyak toxic nan nylekit.
***
Jadilah semakin ke sini, saya makin dibukakan mata selebar-lebarnya.
Mental illnesses are very real and very common.
Mental illnesses are very real and very common.
BE AWARE SAMA SEKITAR PLEASE.
STOP JADI MANUSIA GOLONGAN TOXIC POSITIVITY.
Orang dengan Mentali illness itu bukan untuk kamu ceramahi:
-makanya solatnya dibenerin!
-kamu imannya kurang sih!
-kamu ngaji sehari berapa kali?
-masalah sepele kaya gitu masa sampai bikin kamu stres?
-masalahmu ga ada apa-apanya sama masalahnya si X, Y, Z.
-kamu kurang bersyukur kali!
-makanya solatnya dibenerin!
-kamu imannya kurang sih!
-kamu ngaji sehari berapa kali?
-masalah sepele kaya gitu masa sampai bikin kamu stres?
-masalahmu ga ada apa-apanya sama masalahnya si X, Y, Z.
-kamu kurang bersyukur kali!
Waks!
Yang tau seberapa tebal iman seseorang itu ya cuma 'dia dan Tuhan'.
Penampilan religius itu ga jamin iman dia sereligius penampilannya.
Mengutip kalimat teman saya (cr: Rosi Leoni): "Jangan sepelekan ketika orang curhat sama kamu: 'aku stres, aku sedih, aku capek.'"
Bisa jadi itu kode lho. Bahwa ia butuh teman. Butuh didengarkan.
Orang dengan Mental illness itu butuh perhatian. Bukan cacian. Butuh dukungan, bukan nasihat berkepanjangan.
Orang dengan Mental illness itu butuh perhatian. Bukan cacian. Butuh dukungan, bukan nasihat berkepanjangan.
Klo ga bisa berkata baik, diem aja deh.
So, mari lebih peduli lagi sama teman. Mari utamakan kesehatan mental.
Komentar
Posting Komentar