Langsung ke konten utama

Ayah, Bersabarlah!

Ayah, ketika semua orang membencimu dan aku ikut membencimu, di situlah durhaka berlaku padaku.
Ayah, ketika semua orang menjauhimu dan aku ikut menjauhimu, di situlah tak tahu malu bersemat padaku.
Ayah, ketika semua orang memandangmu sebelah mata dan aku ikut begitu juga, di situlah tak tahu diri menjadi gelar terbaik untukku.
Ayah, dulu, aku seperti mereka. Membencimu, menjauhimu, bahkan enggan memandangmu. Aku benci melihatmu. Benci mendengarmu berbicara. Aku benci berada dalam satu tempat denganmu.
Ayah, dulu, aku begitu ingin pergi dari rumah ini. Ingin melarikan diri dari celaan orang-orang terhadap keluarga ini. Keluarga ini? Keluarga kita, ayah. Bahwa kita tidak sekaya mereka. Kita tidak ‘selumrah’ mereka. Kita tak ‘sepemikiran’ dengan mereka.
Kita? Aku sebut kita, ayah. Karena ini tentang keluarga ini. Keluarga yang hanya dihuni olehku, ibu, dan juga dirimu, ayah.
Ayah, hanya karena kau berpikir kritis, mereka membencimu. Kau begitu detail, sehingga apa-apa kau tanyakan. Sebuah program kerja, ku tanyakan sampai hal sekecil-kecilnya.
Ayah, hanya karena kau berpikir berbeda, mereka menjauhimu. Mereka enggan turut dalam duniamu ayah. Mereka sebenarnya hanya iri. Iri karena kau mempunyai idealisme yang tinggi.
Ayah, hanya karena kau tegas, mereka memandangmu sebelah mata. Tak hanya sekadar membenci, menjauhi, tapi juga bersekongkol tak mau ‘kenal’ denganmu.
Mereka semua tak mengacuhkanmu. Mereka hobi mencari kesalahanmu. Mereka gemar sekali membicarakanmu, ayah.
Seperti Subuh ini. Kau jarang ikut sholat Subuh berjamaah, Ayah. Kau biasa sholat sendiri di rumah. Kau harus mengambil barang dagangan untuk ibu. Sampai di rumah Subuh telah berlalu.
Subuh kali ini, Tasyrik hari kedua. Kau libur jualan. Dan kau tak menyia-nyiakan kesempatan ikut sholat Subuh berjamaah. Kau begitu bersemangat, Ayah. Hingga sholat Subuh sudah purna pun, kau masih menambahinya dengan dua rakaat sunnah. Ayah, aku tahu kau tidak tahu. Bahwa sholat sunnah dua rakaat setelah Subuh itu tidak ada. Andai kau tahu, kau pasti tak akan melakukannya.
Dan apa ayah tahu bagaimana pandangan mereka dengan sunnah ‘salah’ yang barusan kau kerjakan?
Mereka tertawa. Mereka seakan berbuka tawa. Setelah sekian lama tak mendapati keanehan dalam dirimu, Ayah.
Akhirnya, Subuh tadi, mereka menertawaimu.
Tak ada yang menegurmu. Tak ada yang memberitahumu. Tak ada yang berusaha memberi penjelasan kepadamu.
Alhamdulillah, Allah memberitahuku tentang sunnah salahmu. Sampai rumah, aku menunggumu pulang, Ayah.
Aku tidak sabar untuk memberitahumu. Ya, memberitahu. Bukan menghakimi. 
Karena sekarang aku sadar, Ayah. Aku sudah dewasa. Aku tahu, kau lakukan hal-hal yang salah karena kau tidak tahu.
Aku tahu kau berpikir kritis karena memang itu sudah watakmu.
Aku tahu kau sungguh idealis, karena kau memang cerdas.
Takkan kujauhi kau, Ayah.
Takkan kubenci kau lagi.
Aku tahu kau tidak tahu.
Dan ketidaktahuan akan hilang jika dia sudah tahu.
Ayah, kau tetap pahlawanku.
Ayah, kau tetap inspirasiku.
Tak peduli berapa kefatalan yang kau ciptakan.
Tak peduli betapa keras watak yang kau punya.
Tak peduli amarah yang dengan begitu mudahya meluap-luap darimu.
Ayah, aku menyanyangimu.
Ayah, kau adalah ayahku.
Dan, aku anakmu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Banyak Ditentang, Sebenarnya Childfree Itu Sebuah Ancaman Atau Ketidaksiapan Atas Perbedaan?

Ada netizen yang upload foto anaknya 24/7, society fine-fine saja. Namun, ketika ada seorang netizen upload pendapat pribadi, di lapak sendiri, testimoni pribadi pula, dianggap sebagai ancaman. Yakni seseorang yang memilih Childfree!!! Padahal kalau dipikir-pikir,  manusia itu makhluk dinamis. Apa yang dipikirkan detik ini, belum tentu lima menit berikutnya masih disepakati. Manusia itu makhluk terlabil sedunia, Beb. 😁 No offens, ya Ges ya. Ak cuma menyoroti kenapa kita enggak siap menerima perbedaan. Soal perlakuan bar-bar Gitasav juga, pernah enggak kalian riset atau apa, ya, istilahnya, merenung #halah kenapa seorang Gitasav bisa sebrutal itu ke netizen? Lelahkah ida? Karena jauuuuh sebelum masalah childfree, ada soal ‘stunting’ juga yang dia sebut, dia juga sudah sering diserang dan dikata-katain. Hehe Istilahnya, ojo jiwit yen ora gelem dijiwit. Pas Gitasav nyerang balik, eh, netijen baper ✌️🫢🏻 Eh, ini saya bukan lagi membela ea. Cuma mencoba melihat dari 2 sisi. Soalny...

KENAPA ORANG LEBIH SUKA NGASIH NASIHAT KETIMBANG SEMANGAT?

 Netijen: Lebay banget sih, gitu aja distatusin? Lo kere ya? Sampai ga bisa makan? Me: Anjay. πŸ˜‚ Cara tiap orang mengelola emosi, cara orang menghadapi masalah diri, cara orang untuk 'ngomong' itu beda-beda keleus. Kalau kamu tipe penyabar, tipe diem doang saat dihadapkan sama masalah yang sama kaya saya, ya monggo. Dipersilakan. Saya malah salut. Karena orang sabar disayang Tuhan. Saya punya cara sendiri. Urusan ga sabar, urusan ga disayang Tuhan, itukan hak prerogatif Tuhan.  Kasus beda perlakuan, beda cara memperlakukan warga, tetangga, itu udah jadi persoalan klasik di setiap masyarakat. Hambok deloken chat di WhatsApp ku. Isine wong do curhat. Cuma mereka orangnya sabar, jadi diem aja.  Saya ga masalah kok engga dapat beras, engga dapat sembako, saya punya duit. Alhamdulilah.  Yang jadi masalah adalah ... beda perlakuan. Kenapa harus membeda-bedakan? Berarti kasus ada tetangga mati sampai berhari-hari itu karena kasus kaya gini? Alhamdulillahnya, kemarin Pak RT ...

AWE SAMBAT #4

  Tuhan, pengen nabung nih. Banyak yang pengen saya lakukan. Butuh banyak uang. Boleh minta kerjaan? Tuhan pun ngasih kerjaan. . . Orang sukses: Alhamdulillah, ada kerjaan. Kerja kerja kerja! Selesai. Me: Alhamdulillah, ada kerjaan. Tapi, nanti aja deh. Lagi mager. Besoknya. DL masih lama. Ntar aja. Besoknya lagi. Ntar aja pas mepet DL. Pas udah DL. Ya ampun, gimana nih? Ak kudu mulai dari mana? *** Kaya gitu kok suka ngeluh hidup "cuma gitu-gitu aja". Flat. Monoton. Ya emang kamunya (kamu, We) ga ada aksi. Ga mau berubah. Udah gitu masih bisa senyam-senyum pula. Gila!