Ayah, ketika semua orang membencimu dan aku ikut membencimu,
di situlah durhaka berlaku padaku.
Ayah, ketika semua orang menjauhimu dan aku ikut menjauhimu,
di situlah tak tahu malu bersemat padaku.
Ayah, ketika semua orang memandangmu sebelah mata dan aku
ikut begitu juga, di situlah tak tahu diri menjadi gelar terbaik untukku.
Ayah, dulu, aku seperti mereka. Membencimu, menjauhimu,
bahkan enggan memandangmu. Aku benci melihatmu. Benci mendengarmu berbicara. Aku
benci berada dalam satu tempat denganmu.
Ayah, dulu, aku begitu ingin pergi dari rumah ini. Ingin melarikan
diri dari celaan orang-orang terhadap keluarga ini. Keluarga ini? Keluarga kita,
ayah. Bahwa kita tidak sekaya mereka. Kita tidak ‘selumrah’
mereka. Kita tak ‘sepemikiran’ dengan mereka.
Kita? Aku sebut kita, ayah. Karena ini tentang keluarga ini.
Keluarga yang hanya dihuni olehku, ibu, dan juga dirimu, ayah.
Ayah, hanya karena kau berpikir kritis, mereka membencimu. Kau
begitu detail, sehingga apa-apa kau tanyakan. Sebuah program kerja, ku tanyakan
sampai hal sekecil-kecilnya.
Ayah, hanya karena kau berpikir berbeda, mereka menjauhimu. Mereka
enggan turut dalam duniamu ayah. Mereka sebenarnya hanya iri. Iri karena kau
mempunyai idealisme yang tinggi.
Ayah, hanya karena kau tegas, mereka memandangmu sebelah
mata. Tak hanya sekadar membenci, menjauhi, tapi juga bersekongkol tak mau ‘kenal’
denganmu.
Mereka semua tak mengacuhkanmu. Mereka hobi mencari
kesalahanmu. Mereka gemar sekali membicarakanmu, ayah.
Seperti Subuh ini. Kau jarang ikut sholat Subuh berjamaah,
Ayah. Kau biasa sholat sendiri di rumah. Kau harus mengambil barang dagangan
untuk ibu. Sampai di rumah Subuh telah berlalu.
Subuh kali ini, Tasyrik hari kedua. Kau libur jualan. Dan kau
tak menyia-nyiakan kesempatan ikut sholat Subuh berjamaah. Kau begitu
bersemangat, Ayah. Hingga sholat Subuh sudah purna pun, kau masih menambahinya
dengan dua rakaat sunnah. Ayah, aku tahu kau tidak tahu. Bahwa sholat sunnah
dua rakaat setelah Subuh itu tidak ada. Andai kau tahu, kau pasti tak akan
melakukannya.
Dan apa ayah tahu bagaimana pandangan mereka dengan sunnah ‘salah’
yang barusan kau kerjakan?
Mereka tertawa. Mereka seakan berbuka tawa. Setelah sekian
lama tak mendapati keanehan dalam dirimu, Ayah.
Akhirnya, Subuh tadi, mereka menertawaimu.
Tak ada yang menegurmu. Tak ada yang memberitahumu. Tak ada
yang berusaha memberi penjelasan kepadamu.
Alhamdulillah, Allah memberitahuku tentang sunnah salahmu. Sampai
rumah, aku menunggumu pulang, Ayah.
Aku tidak sabar untuk memberitahumu. Ya, memberitahu. Bukan menghakimi.
Karena sekarang aku sadar, Ayah. Aku sudah dewasa. Aku tahu,
kau lakukan hal-hal yang salah karena kau tidak tahu.
Aku tahu kau berpikir kritis karena memang itu sudah
watakmu.
Aku tahu kau sungguh idealis, karena kau memang cerdas.
Takkan kujauhi kau, Ayah.
Takkan kubenci kau lagi.
Aku tahu kau tidak tahu.
Dan ketidaktahuan akan hilang jika dia sudah tahu.
Ayah, kau tetap pahlawanku.
Ayah, kau tetap inspirasiku.
Tak peduli berapa kefatalan yang kau ciptakan.
Tak peduli betapa keras watak yang kau punya.
Tak peduli amarah yang dengan begitu mudahya meluap-luap
darimu.
Ayah, aku menyanyangimu.
Ayah, kau adalah ayahku.
Dan, aku anakmu.
Komentar
Posting Komentar