Ini kisah bukan sembarang kisah. Ini
kisah nyata dan bukan rekayasa semata. Bukan cuma menghadirkan fakta yang bisa
bikin melotot mata, tetapi juga kronologi tragis dari si empunya cerita. Ini
cerita diangkat dari kisah kawan penulis. Tetep pantengin dan jangan sampai
berhenti di tengah jalan ya? Takutnya ntar ketabrak. Ish, apa sih? Oke-oke. Jadi
ceritanya begini….
Sebut saja namanya Rumi (red –bukan
nama sebenarnya), dia lagi seneng-senengnya punya ha-pe android. Baru, new, and
gris. Plis, jangan tanya harga, apa mereknya, sama belinya di mana ya? Hiks
ngelantur. Skip! Balik ke cerita. Nah, doi ini aktivis masjid. Ikut remaja
masjid gitu deh. Trus doi ngajar TPA juga. Pada suatu sore, pas doi lagi
asyik-asyiknya menyimak adek-adek TPA yang imut-imut, tiba-tiba androidnya
berbunyi.
Tut tit tet tot…
Alhasil si Rumi pun segera mengecek.
(maklum, ha-pe baru).
08567xxxxx45
Selamat sore, Rumi.
Rumi hanya bisa melongo dan mengerutkan dahi. “Nomor siapa nih?” Batinnya.
Tanpa
berpikir panjang, Rumi pun membalasnya.
Sp y?
Dua menit kemudian,
Masak lupa cih?
Rumi
berpikir. sedetik, dua detik, tiga detik, sampai lima menit kemudian.
“Mbak,
udah selesai bacanya.” Celetuk adek TPA yang tadi disimak bacaannya sama Rumi.
“Eh,
iya. Anu, sini Mbak tanda tangani kartu prestasinya. Tadi baca sampai ayat
berapa?”
Si
adek cuma bisa melongo. Mungkin dalam hatinya bertanya-tanya, “Siapa yang ustadzah siapa yang murid sih?”
Dua
detik setelah si adek berlalu dari hadapannya, Rumi kembali berkutat dengan
androidnya. Jempolnya dengan cepat menulis:
Bukannya lupa, tp g tw.
Si
lawan bicara langsung membalas smsnya secepat kilat.
Ini Fian.
“Fian? Perasaan aku nggak punya teman yang
namanya Fian.” Batin Rumi.
Fian sp? Ak g pya tmn nmnya Fian
Sebuah
tepukan keras mampir di pundak Rumi.
“Woey,
main hape aje. Ayok doa. Udah mau maghrib nih.” Bentak Fatimah bikin jantung
mau copot.
“Eh,
iya, Mah. Yuk ditutup.”
Sesampai
di rumah, Rumi melanjutkan hari dengan tilawah. Namun, tak seperti biasanya,
pikiran Rumi tidak bisa fokus mengeja ayat-ayat suci di hadapannya. Pikirannya
kembali tertancap pada androidnya. Rasa penasaran akan sosok Fian yang tadi
sore hinggap di layar ha-pe-nya. Puluhan nomor asing yang pernah berjubel masuk
ke inboxnya, tidak pernah dia gubris. Tapi, kali ini dia benar-benar dibuat
penasaran akan sosok baru ini.
“Dia tahu namaku. Berarti dia kenal aku dong.”
Batinnya berbicara.
Karena
rasa penasarannya sudah di ujung tanduk, maka dia pun membalas sms.
Fian sp?
Satu
menit kemudian, androidnya berbunyi.
Yg dlu studi banding senat fakultasmu.
Senat? Maksudnya BEM? Batinnya penuh tanya.
Senat? Mksdnya BEM?
Iya, mksudnya itu. Nti aq telp
ya?
Ha? Telepon? Bwt ap?
Drpd km tny2 soal aq trs, mndg
aq telp.
Ok. Tp ntar mlm aj.
Hbs tahajud y?
Ok.
Tahajud? Emmmm dia….
Rasa
penasaran akan sosok Fian dia simpan sampai nanti malam. Adzan Isya’
berkumandang, dia pun segera menuju masjid. Kemudian lanjut tilawah bersama
teman-teman remaja masjidnya.
Waktu menunjukkan pukul setengah sembilan malam.
Rumi teringat akan tugas kuliah yang menanti untuk dikerjakan. Dia pun pamitan
kepada teman-temannya. Rumi adalah mahasiswa semester empat jurusan Matematika
di salah satu universitas negeri di Solo. Semester empat, semester yang lumayan
padat jadwal kuliahnya. Semester yang lumayan tugasnya. Seminggu bisa tiga
sampai empat tugas yang harus dikumpulkan dengan deadline yang hampir
bebarengan.
Kini,
laptop sudah di hadapan. Folder musik dibuka. List lagu One Ok Rock dia putar. Biar
malamnya tak sendirian. Dua menit kemudian, Rumi asyik berselancar di tumpukan
buku sebagai referensi tugas-tugasnya.
***
Dini
hari, sekitar pukul tiga pagi, alarm Rumi berbunyi. Kantuk masih menguasai
sepertiga kesadarannya. Namun, bunyi sms menyergapnya tiba-tiba dan menyebabkan
kesadarannya sadar sesadar-sadarnya. Full.
Udh bangun?
Tiba-tiba
ada yang berdesir di hatinya.
Udh.
Rumi
masih berbaring manis di ranjang empuknya. Tak segera mengambil air wudhu,
tetapi justru menunggu sms balasan masuk ke inboxnya.
Udh shlt blm?
Blm.
Shlt dlu gih.
Tiba-tiba
senyum mekar di bibirnya. Tanpa dia sadari, setan telah berhasil merasuk di
hatinya. Benar saja, usai tahajud, Fian menunjukkan suaranya dan Rumi
menyahutnya dengan hati debar penuh tanya.
***
Acara
telepon-teleponan setiap dini hari dan sms sepanjang waktu sudah berlangsung
selama seminggu. Memasuki minggu kedua, mereka sepakat untuk mengikat cinta
semu mereka ke dalam bentuk “pacaran” lebih tepatnya “pacar virtual”. Cinta
semu dua manusia bertemu dalam sebuah wadah yang bernama dunia maya. Tanpa
bertatap muka, tanpa pernah bertemu sebelumnya, hanya komunikasi intens semata,
cinta semu pun berkembang di hati keduanya. Tanpa berpikir panjang. Rumi si
gadis yang berjilbab rapi ini, telah jatuh dan takluk kepada seorang lelaki tak
jelas nasabnya bernama Fian. Nama lengkapnya
Alfian Dito Hermawan.
***
Sebulan
kemudian, kabar kasih asmara akhwat satu ini pun berhembus sampai ke telinga
teman-teman satu jurusan. Ada yang kaget, ada yang ikut senang, adapula yang
sedih, menyayangkan predikat “anak alim” yang dia sandang selama ini. “Bagaimana seorang akhwat sekaliber dia bisa
terjerat dengan yang namanya hubungan asmara?” Satu hal yang perlu
digarisbawahi di sini, mereka lupa, bahwa Rumi seperti halnya mereka, hanya
manusia biasa. Ketika tembok pertahanannya runtuh, setan dengan leluasa bisa
masuk dan mengobrak-abrik hatinya.
Beberapa
teman yang ikut bahagia dengan kabar asmara Rumi, dengan semangat 45 mendekati
Rumi demi mendapat informasi soal lelaki mana yang sudah mampu menawan hatinya.
Dengan malu-malu Rumi menjelaskan jika dia saat ini sedang menjalin hubungan
dengan seorang lelaki bernama Fian. Dia kuliah di Universitas Brawijaya,
jurusan ilmu kedokteran. Dia sekarang co-as di salah satu rumah sakit di
Surabaya. Dia perlihatkan foto ganteng si dokter muda itu kepada temannya.
Temannya sempat menimpali, “Ya ampun ganteng banget. Mirip banget sama adiknya
Irwansyah.”
“Adiknya
Irwansyah?”
“Iya.
Ah, kamu nggak pernah nonton tv sih. Makanya sekali-kali nonton tv dong. Jangan
cuma baca buku doang.”
“Hehe… gitu ya?”
“Betewe,
Rum, Fian punya temen cowok nggak? Mau dong dikenalin.”
“Duh,
nggak tau Vit. Ntar aku tanyain deh.”
Vita,
teman satu kelas Rumi senyam-senyum sambil bergumam kata YES! dengan lirih.
***
“Teman
cowok? Buat apa?” Seru Fian di telepon.
“Temenku
ada yang pengen dikenalin. Pengen punya pacar dokter gitu katanya.”
“Oh,
gitu. Ya deh ntar aku kenalin sama temenku.”
“Oke.”
“Eh,
Yang, kamu punya duit nggak?”
“Duit?
Punya sih, tapi cuman dikit.”
“Boleh
pinjem nggak? Mama belum ngirim duit nih. Katanya ngirim baru minggu depan.”
“Ya
ampun. Kasihan pacarku. Emang butuh berapa?”
“Lima
ratus ribu ada?”
“Ada.”
“Sip.
Ntar aku kirim nomor rekeningnya ya? Aku janji, bakal kuganti minggu depan kalo
mama udah nransfer.”
“Oke,
Yang.”
“Ya
udah. Aku udah giliran jaga nih. Pamit dulu ya? Love you.”
“Love you.”
Sehabis
kuliah, Rumi segera menuju ATM di kampusnya. Uang tabungan yang sejatinya
dipakai untuk membayar semester depan dia transfer ke rekening Fian. Dengan
suka rela, tanpa prasangka. setelah transfer, dia kemudian menuju perpustakaan.
“Woey
Rum.” Teriak sebuah suara dari arah jarum jam sembilan.
“Hei,
Vit.”
“Mau
pinjem buku juga? Barengan yuk masuknya.”
“Yuk.”
“Kemarin
ada yang sms aku lho Vit. Cowok, anak kedokteran.”
“Ah
iya. Trus trus?”
“Ya,
kita baru smsan aja sih.”
“Namanya
siapa?”
“Namanya…
ee,, anu, Awan. Iya Awan.”
“Kok
kamu gugup gitu sih?”
“Hehe…
saking senengnya sih.”
“Anaknya
gimana? Ganteng nggak?”
“Iya
dong. Tahu nggak, dia romantis banget. Perhatian juga. Tiap malem nelpon aku.
Ngingetin buat tahajud. Trus pagi siang sore malem juga sms.”
“Waduh,
nggak habis tuh pulsa?”
“Hehe…
buat dapet cowok kedokteran, apapun bakal aku lakuin Rum.”
“Oh…
hehehe….” Rumi cuman bisa nyengir. Pasalnya, Fian sudah dua hari ini tidak
menelepon dan sms juga lama membalasnya. Tapi, namanya juga orang lagi jatuh
cinta. Prasangka jelek mah lewat aja, nggak bakal digubris sama yang lagi
dikarantina sama cinta.
***
“Udah seminggu ini dia jarang sms. Nelpon
juga nggak pernah. Dia sibuk apaan sih?” gerutu Rumi di tengah malam.
Sedari
tadi pagi dia sms Fian, tetapi tidak ada balasan. Ketika di telepon, ternyata
nomornya tidak aktif. Buncahan rindu di dada Rumi semakin tak terbendung.
Akhirnya dia pun curhat sama Vita lewat telepon.
“Vit,
kok Fian sekarang aneh ya?”
“Aneh
gimana?”
“Dia
udah seminggu nggak nelepon. Bales sms pun lama, bahkan kadang sehari nggak ada
kabar. Sebenarnya dia lagi sibuk apa sih? Tanyain ke Awan dong.”
“Oke.
Ntar aku tanyain. Kamu yang sabar ya? Mungkin Fian lagi sibuk. Kan dia dokter
muda, Rum.”
“Hu
um.”
***
Kabar dari Fian baru datang di hari ke-10.
“Maaf, Yang. Hape ku mati. Ini aja pinjem hape nya
Awan. Jadi aku nggak bisa sms atau nelpon kamu.”
“Oh, gitu. Nggak apa-apa kok, Yang.”
“Yang, ketemuan yuk. Besok minggu aku mau ke Solo.
Aku kangen banget sama kamu. Pengen banget ketemu kamu.”
“Eeee… apa? Ketemu? Eeee… insya Allah ya?”
“Kok insya Allah? Kamu nggak pengen ketemu aku?”
“Pengen sih, tapi…”
“Oke. Ntar jemput aku ya?”
Perbincangan di telepon siang itu membuat Rumi
menjadi takut. Iyelah, seumur-umur dia
belum pernah yang namanya pacaran, eh, maksudnya ketemuan sama cowok. Trus
boncengan berdua. Membayangkan hal itu saja sudah membuat Rumi takut. Apalagi
jika bertatap muka langsung. Ngeri.
***
“Ntar jemput aku jam delapan ya di terminal?”
“A-apa? Jam delapan?”
“Iya.”
“Maaf banget, tapi barusan aku dapat kabar dari
sepupuku kalau tanteku meninggal.”
“Jadi, kamu nggak bisa jemput aku?”
“Maaf.”
“Oke. padahal aku bela-belain pergi ke Solo.
Berjam-jam menempuh perjalanan. Pas aku udah mau nyampe….”
“Sorry.
Yang, aku….”
Tut tut tut tut. Telepon terputus. Untuk pertama
kalinya Rumi menangis. Hari ini, tantenya meninggal karena penyakit kanker.
Kemudian si lelaki yang dia sayang berkata kasar kepadanya.
Enam jam kemudian…
Ketika sedang takziah ke rumah tantenya, Rumi
mendapat sms dari Vita.
Rum, sebenere foto yg dlu km liatin kea q it foto Fian bkn?
Iy. Knp?
Koq beda?
Beda gmn?
Nie aq lg sm Fian.
Lho, kok bs?
Td dy nyuruh aq jmput dy d trmnl.
Kok nyuruh km sih?
Jd foto itu foto Fian bkn?
Dia ngakunya gt.
Sial. Qt berdua dibohongi.
“Tapi, kan pacarnya Vita
namanya Awan. Kenapa dia bisa sama Fian. Sebentar, Awan? Alfian Dito HermAWAN?
Jangan-jangan….” Suara
hati Rumi berseru penuh curiga.
Rumi melotot. Pikirannya mulai bekerja. Saraf-saraf
yang sempat tidak berfungsi karena bius asmara kini mulai aktif lagi. Dia
mengingat-ingat awal perkenalannya dengan Fian. Lelaki itu tiba-tiba sms, kemudian
menelepon. Selalu mengirim kata-kata romantis. Mengirim foto.
Foto? Sial, kenapa
selama ini aku tidak mengeceknya? Seru batin Rumi. Tanpa berpikir panjang Rumi segera membuka internet dan
mengetik kata kunci di google: adik Irwansyah.
Sedetik kemudian, muncul ribuan foto yang mengacu
pada kata yang diketik Rumi tadi. Mata
Rumi terpaku pada satu foto. Darahnya mendidih. Tangannya mengepal. Jika bukan
sedang takziah, Rumi mungkin sudah memukul-mukul kepalanya sendiri. Dia sudah
mulai menyadari kebodohannya. Bagaimana bisa dia dibohongi dan dipermainkan
habis-habisan oleh lelaki yang selama ini sudah mengisi hari-harinya?
Dua bulan sudah dia berkubang di lumpur dosa atas
kebodohannya sendiri. Terpikat oleh tulisan manis serta foto palsu lelaki itu.
Mengaku sebagai dokter muda, selingkuh dengan temannya sendiri. Lelaki itu juga
sudah menipu Rumi dengan menyuruhnya mengirim uang dan berkali-kali minta
diisikan pulsa.
Teleponnya bordering. Dari Vita.
“Ya, Vit?”
“Rum, aku bingung. Aku kudu gimana?”
“Gimana apanya?”
“Aku sekarang ada di Malang. Boncengan pake motorku
berdua sama Fian. Katanya dia mau ngenalin aku sama keluarganya di Malang.
Tapi, habis sms kamu aku sadar, kalau kita dibohongi. Wajahnya beda banget sama
yang difoto. Akhirnya aku maksa dia buat nurunin aku di tengah jalan. Sekarang
aku di kantor polisi. Aku minta bantuan pak Polisi untuk bantuin aku pulang.
Rum, Rum, kamu masih di sana? Rum… Rum… halo…”
Air mata sudah tidak Rumi terbendung lagi.
Kebodohannya menjalar kepada temannya. Vita dibawa lelaki itu untuk
dikenalkannya ke orangtuanya? Oh Tuhan. Telepon masih menyala. Tetapi Rumi
tinggalkan begitu saja. Dia bersandar di bahu ibunya. Sambil menangis Rumi
berdoa,
Ya Allah, maafkan
kebodohan hamba-Mu ini. Lemah iman dan godaan penampilan telah membutakan mata.
Predikat dokter juga telah memikatnya. Perihal dunia, telah berhasil
memperdayanya. Allah, beri aku kesempatan untuk bertaubat dan memohon ampun
kepada-Mu ya Allah. Astaghfirullahal’adzim.
Air mata Rumi semakin deras mengalir. Rasa sakit
hati dan rasa bersalah atas kebodohan diri terus menghujam sanubari. Namun,
mulai detik itu, Rumi berjanji, dia akan lebih hati-hati. Berusaha untuk
menjaga keperawanan hati. Sudah cukup sekali dan jangan sampai terjadi lagi.
Pacar virtual? No way!
Itu dia kisah pacarannya teman aye. Gimana? Ngenes
kan? Udah dibohongin. Duit melayang. Dibikin sakit hati. Ternyata gals, lemah
iman itu dampaknya luar biasa parah jika harus dihadapkan dengan urusan duniawi.
Soalnya, perkara dunia jika dihadapai tanpa modal iman yang kuat, akan membuat si
manusianya itu keblinger. So, masih mau pacaran?
Komentar
Posting Komentar