Langsung ke konten utama

GELANDANGAN KONGLOMERAT

 

Aku gelandangan. Rumahku tersebar di seantero jagad. Panas, dingin, lapar, haus, semuanya biasa bagiku. Kata orang, hidupku sia-sia. Hidupku tak berguna. Berkelana ke sana ke mari tanpa tujuan. Bah, terserah saja apa katamu wahai orang-orang, toh, kalian tak memberiku  apa-apa.

Ya, aku geli. Geli sangat, melihat tingkah laku orang. Uang mereka hamburkan. Waktu mereka siakan. Aku? Uang jarang kupegang. Waktu? Banyak kuhabiskan di jalanan. Menyimak pergerakan alam. Menyaksikan deru derap orang-orang.

Sore itu, aku sedang berjalan di trotoar jalan Pinang. Kanan kiri orang berlalu lalang. Mobil motor berseliweran bak tak ada orang di dalamnya. Di sebuah restoran Cina aku berhenti. Aku terkesima mendengar berita terbaru tentang seorang pejabat. Penyiar berita yang cantik itu berkisah:

“Salah seorang jaksa dengan inisial B-A ditangkap polisi atas dugaan pemalsuan data sidang dalam kasus pencucian uang di BPK. Polisi menangkapnya saat bla bla bla ……..”

Muak. Sangat muak. Para petinggi yang rendah moralnya itu bertingkah lagi. Aaaaah, aku jengah. Aku, hanya gelandangan. Hidup merantau tak tentu tujuan. Dan melihat kenyataan itu semua, membuat hati geram tak karuan. Dunia, sudah benar-benar gila.

“Mas Jun, dicari mbak Gendis,” kata Saipul, seorang anak gelandangan yang gigi depan sebelah atas hilang 3 karena dikeroyok masa gara-gara maling sandal di masjid.

“Mo ngapain? Bilang aja Mas Jun lagi ngaksi”

“Mbak Gendis udah tau mas Jun lagi di sini”

“Nah kalo udah tau kenape lu mesti lapor ke gue?”

“Biasa… Cewek suka jaim. Ah, mas Jun kayak ga tau aje”

“Ya udah, suruh sini. Cepetan. Gue mau ngaksi nih”

“Siap bos”

Gendis, seorang pelacur kecil yang cantik. Usianya baru 16 tahun. Di usia 12 tahun dia sudah dijual bapaknya yang galak dan sering kalah adu ayam. Bapaknya yang bejat, anaknya yang kudu menanggung. Miris.

“Mmmm, mas Jun,” Sebuah suara lembut terdengar di sebelah kiriku.

“Hei, kenape Ndis nyari gue? Ada masalah?”

“Ah, enggak kok mas. Gendis cuma pengen ngobrol sama mas Jun”

“Bawa apaan tuh?”

“Oh, ini rendang mas. Tadi aku bantuin ibu masak buat tamu yang mau datang nanti malam”

“Mmm, kayake enak tuh. Emang buat siape?”

“Ini, buat mas Jun. Kok udah lama Gendis ga lihat mas Jun ngaksi di sini.”

“Waaah, kebeneran nih. Gue laper banget. Dari kemarin sore kagak makan. Laper bener”

“Ini mas. Biar Gendis bukain”

Aku melihat tangan halus anak gadis yang sudah tak perawan ini. Aku perhatikan bagaimana ia membuka bungkus masakannya dengan lembut dan tertata. Kulitnya yang kuning, lesung pipit di pipi, membuatnya tak pernah sepi pelanggan. Entahlah, apa dia bahagia dengan semua itu?

“Kok masih bisa bungkus makanan, emang buatnya banyak?”

“Mmm, iya mas. Soalnya ntar malem ada tamu bapak yang mau datang.”

“Tamu? Hmmm, tumben. Tamu istimewa pasti. Soalnya masaknya banyak dan mantap”

“Mmm, Gendis mau dilamar orang mas”

“Ha?” Aku tercengang. Heran. Ada toh yang mau ngelamar dia, kataku dalam hati. Hmm, tapi, namanya juga hidup di dunia, segala serba membingungkan. Mungkin dengan cara ini, dia bisa menata kembali hidupnya yang sudah lumayan kelam.

“Duda beranak satu. Pengusaha. Usianya 13 tahun di atasku. Orangnya sepertinya baik. Ketemu pas Gendis lagi mau ke tempat mama Dona, ada anak kecil nangis di pinggir jalan. Ga tahunya itu anaknya si duda. Gendis anter ke rumahnya. Trus paginya, si duda ke rumah Gendis dan rencananya ntar malam mau nglamar”.

“Jadi gitu ceritanya. Kaya’ sinetron gitu ye kisah lo. Sebagai temen, gue cuma bisa ngasih ucapan selamet Ndis. Mungkin pas lo nikahan ntar gue ga bisa dateng, jadi gue ucapin sekarang aja.”

“Tapi mas, masalahnya, Gendis suka sama mas Jun. Mmm, kalo mas Jun mau nglamar Gendis, Gendis akan bilang engga sama lamarannya si duda”.

“Weeeits, jangan ngomong gitu lo. Jangan ditolak. Mas Jun ga suka sama Gendis, mas Jun udah suka sama orang lain. Jadi, jangan berharap sama mas Jun.”

Iya, jangan pernah berharap sama manusia. Hanya kecewa saja yang kelak kau terima. Apalagi kau tahu aku. Bagaimana keadaanku. Memilukan. Hidup dengan menjarah harta orang, tapi tak kunjung kaya juga. Hahaha… KAYA. Sebenarnya apa arti kata itu? Kaya, apa hanya soal harta? Apa soal orang yang bisa membeli apa yang dia inginkan, trus dia bisa disebut kaya? Waow.. menakjubkan. Harta, ternyata dia toh patokan manusia bisa disebut KAYA.

Huh.

***

Langit mulai membiru. Mendung tadi pagi digeser sinar matahari sampai ke tepi. Dan, saatnya beraksi.

Di kejauhan, kelihatan seorang ibu-ibu muda sosialita berjalan beriringan sembari membawa rentengan barang belanjaan di kedua tangannya. Dan dompetnya, hoho… sasaran empuk. Perlahan aku mendekat. Lebih dekat. Dan…

“Copeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”

Aku berlari. Tanpa henti. Aku merasakan energi alam yang mendorongku dengan kencang. Satu, dua tiga, kira-kira ada 14 orang yang mengejarku. Yuhuiii,,, Lorong sempit, jalan raya, jejeran pedagang kaki lima, sampai akhirnya, jalan buntu. Ahay, inilah kesukaanku. Mencari celah yang bisa aku lewati. Yups, sebuah pintu. Sepertinya pintu almari. Aaah, biar saja.

Heh, pintu ini, bukan almari. Ini adalah sebuah pintu. Pintu rumah. Jujur saja, jalan yang aku lewati tadi baru pertama ini aku lewati. Jadi harap maklum, jika aku agak sedikit heran dan bingung dengan daerah baru ini.

Sayup-sayup aku dengar bunyi gemericik air di ruangan sebelah kananku. Kemudian langkah pelan si manusia di dalamnya perlahan keluar.

“Maaf, saya sudah masuk tanpa izin”.

Seorang nenek tua keluar dari ruangan itu, sebuah taman. Aneh, ada taman di ruangan yang tertutup seperti ini.

“Aku sudah mengetahuinya. Ayo ikut nenek. Kita minum teh bersama”.

***

Nenek sudah tahu aku akan ke sini? Bagaimana bisa?

Suasana di jalan buntu.

“Hei, ke mana perginya si pencopet itu? Ini kan jalan buntu? Gak ada satupun jalan keluar di sini”.

“Entahlah, padahal sisi kiri kanan kita semuanya tembok”.

“Jangan-jangan….. Dia hantu. Woaaaah, mending gue balik aja. Males gue urusan ma hantu. Toh, yang diambil bukan dompet gue”.

***

“Ho oh. Yok, balik!”

“Namamu siapa nak?”

“Namaku Arjuna nek. Tapi biasa dipanggil Jun.”

“Bagaimana dengan orang tuamu?”

“Orang tua? Hah, tak pernah terpikirkan olehku. Mungkin, mereka sudah melupakanku. Meninggalkan gelak tawa dan tangis bahagia mereka saat mendapatiku lahir ke dunia. Usia kanakku sukses dengan tawa bahagia. Namun, usia 9 tahun, aku terpaksa pergi dari rumah. Melihat ibuku yang tewas karna mobilnya masuk jurang dan ayah yang hobi pulang malam, aku tidak betah di rumah. Aku anak tunggal. Tanpa teman. Sendiri, melawan sedih dan rasa sepi. Entahlah, umur 9 tahun yang kulalui waktu itu, menyuruhku lari dari kenyataan gelap yang selalu menyelimuti hariku. Aku lari nek. Lari dari rumah. Tanpa surat dan salam. Aku hanya ingin berlari, mengejar cahaya terang yang aku lihat di mimpiku. Aku menginginkan keramaian. Aku benci sepi.”

“Kau lari dari ayahmu? Lalu, bagaimana kabar ayahmu sekarang? Apa kau menyimaknya?”

“Ayah? Dia sekarang mungkin sedang bersenang-senang. Bersama hasil rampasannya dari uang rakyat. Tentu saja aku menyimaknya. Dia selalu nongol di tv. Mengatakan hal yang manis, tetapi busuk di balik segala katanya. Dia seorang pejabat nek. Ngakunya jadi wakil rakyat. Haha.. yah, dia wakil rakyat. Bukan aku saja yang menyimaknya nek, tetapi segala makhluk di bumi Indonesia ini juga turut menyimak kisah demi kisah yang ia lontarkan dari mulutnya”.

“Menyedihkan bukan?”

“Sangat. Dan aku bersyukur, lari dari sangkar emas berlumur racun.”

“Apa ayahmu tak pernah mencarimu?”

“Sudah 14 tahun aku lari dari rumah nek. Mungkin dia telah lelah menyebarkan berita kehilanganku. Dia lelah. Dan pastinya, dia telah mencari kompensasi yang lain. Tidakkah nenek lihat? Dia telah menikah. Dan mendapat 3 anak dari istri barunya. Yah, walau bukan anak kandungnya. Tapi anak yang dibawa istrinya. Maklum, ayah menikahi janda kaya beranak tiga. Pengusaha kaya. Uangnya ayah manfaatkan demi membeli suara rakyat.”

“Lucu sekali. Kisahmu langka. Mungkin tak ada yang percaya. Kau, si gelandangan muda, anak konglomerat yang kaya raya.”

“Biar saja nek. Aku tidak silau dengan hartanya. Aku lebih suka hidup begini. Mencuri harta para pejabat tak tahu susila, dan membagikannya kepada warga kumuh di tepi kali Cibuthek. Dompet ini. Barusan aku copet dari kumpulan ibu muda yang berbelanja di swalayan. Mereka itu, istri-istri pejabat negara. Para pengawal yang menjaganya? Hahaha.. Ternyata kalah juga dengan seorang antek biasa sepertiku ini nek.”

“Apa kau pernah merindukan ayahmu?”

“Ya. Tentu saja. Empat tahun setelah aku lari dari rumah, kudengar ayah bangkrut. Perusahaannya koleps. Benar-benar dilanda pailit. Saat itu, hatiku turut hancur. Harusnya aku berada di samping ayah, dan menghiburnya. Aku hampir saja kembali. Namun, benar-benar di luar dugaan. Ayah kawin lagi. Dengan seorang janda. Setelah kutelusuri, ternyata dia adalah karib ayah, juga teman ibuku. Teman akrab malahan. Huh, entahlah. Mungkin dengan jalan ini ayah bisa menemukan bahagia. Sampai akhirnya, kudapati ayah mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Sebagai posisi yang menuai mosi tidak percaya dari rakyat di seluruh penjuru negri. Sejak saat itulah, aku membenci ayah. Bersama kawan-kawannya mengumbar racun berbungkus rapi.”

“Asmaramu?”

“Asmara. Hmmm,, desah nafas ini sudah cukup memberatkanku. Aku tak tahu bagaimana kelak hidupku. Aku tak tahu sampai kapan aku masih bisa bernafas. Dan soal asmara ini, aku tidak tahu apa yang harus aku ceritakan. Gadis yang aku sukai, malam ini dilamar seorang duda. Duda kaya. Sedangkan aku? Hanya seorang gelandangan tanpa harta. Hufh,, menyesakkan memang, tapi, aku tak harus mengeksekusi kisahku. Biar Tuhan saja yang menangani. Aku? Cukup aku berjalan menyusuri hari. Segalanya tak akan kumasukan ke dalam hati. Karna, aku takut merugi. Ya, merugi. Karna jika aku merasakan pahitnya sakit hati, maka diriku sendirilah yang merugi. Hanya rasa sakit itu yang aku ratapi, padahal jalan di depanku memintaku untuk menyusurinya. Hahaha.. tak aku biarkan diriku merasa sakit hati.”

“Baiklah. Ceritanya sudah cukup. Sekarang, minum tehnya. Jika kau capek, tidurlah di sini barang sebentar.”

“Ya, nek. Kalau boleh tahu, nenek siapa?”

“Aku? Tidak penting kau tahu siapa aku. Aku hanya seorang figuran. Sosok yang tak penting. Hanya sekedar pelengkap cerita. Minumlah, kemudian istirahatlah.”

***

Aku pun menurut. Setelah kuteguk setengah isi teh buatan nenek, aku rebahkan tubuhku yang rindu kenyamanan ini ke atas sofa empuk. Humm, bau ruangan ini sangat harum dan mampu melengkapi istirahat siangku. Dan kemudian, aku terlelap.

Aku berjalan lagi, menyusuri gang sempit di kota yang mulai sunyi ini. Enam jam aku terlelap tanpa jeda. Sungguh, diriku memang butuh kenyamanan dalam bersandar. Terlalu lama aku gunakan tubuh ini dalam melewati kerasnya dunia. Aku tak memberi waktu istirahat bagi raga ini. Jiwaku memang memintaku untuk terus melangkah, namun ragaku tak kuat untuk selalu menuruti segala keinginan jiwa yang tak berujung.

Sebuah kebingungan yang tak mau aku pikirkan lebih jauh. Saat aku bangun dari hibernasi 6 jam ku, aku dapati tubuh ini terbaring di sebuah tikar emas di ujung gang buntu yang aku lewati tadi. Rumah dan sofa yang aku nikmati tadi hilang bak tertelan bumi.  Seperti saat dia datang, si nenek pun pergi tanpa permisi. Hah, ya sudahlah. Aku anggap nenek tadi adalah malaikat kiriman Tuhan yang mampu memberiku rasa nyaman walau sebentar.

Tubuhku segar. Hawa senja menyeruak sejuk dirasa indraku. Nyaman, menenangkan. Jiwaku tenang. Ragaku ringan. Dan kakiku terus saja berjalan, keluar dari gang. Kini aku dapati kembali keramaian kota. Pedagang kaki lima, si pejuang jalanan, bersuara menjajakan dagangannya. Bakso, mie, tempura, kaos kaki, hingga minyak wangi. Senyum mengembang di jeda mereka berkata. Aku lihat, senja ini, semua orang bahagia.

Rasa lapar mulai menyerang. Aku masuk ke warung yang agak remang-remang. Aku minta sepiring rendang dan segelas kopi. Rendang, makanan terakhir yang aku makan tadi. Mengingatkanku padanya.

Aku lihat siaran tv. Berita lagi. Penyiar cantik di tv mengabarkan tentang pengakuan seorang wakil rakyat yang tadi siang ditangkap di rumahnya. Si pejabat terbukti korupsi dana proyek pembangunan jalan tol di kota Bonamana. Lalalala, satu tikus berhasil terjerat KPK. Namun masih ada ribuan tikus yang bersembunyi di got gelap yang tak terlihat.

Pengakuan? Si penyiar berkata tentang pengakuan. Kemudian fokus stasiun tv tadi mengarah ke gambar pejabat. Dengan mimik tenang, pejabat itu berkata:

“Ya, saya mengakui. Saya telah korupsi. Dana 2,3 milyar yang KPK tuduhkan memang benar ada di kamar saya. Uang tersebut masih utuh. Tak kurang satu sen pun. Namun, mohon dengar dulu penuturan saya. Ada satu hal penting yang ingin saya utarakan kepada teman-teman semua. Empat belas tahun yang lalu, istri pertama saya meninggal karena mobil yang ia tumpangi terperosok ke jurang. Sebulan setelah meninggalnya istri saya, anak saya pergi dari rumah tanpa kata. Hati saya yang hacur, menjadi kian hancur. Saking hancurnya saya sempat berpikir untuk ikut istri saya untuk mati. Namun jika saya mati, maka bagaimana nasib anak saya kelak? Saya tidak mau menuliskan episode pahit di hidup anak saya jika dia mendapati ayah dan ibunya telah tiada. Saya tidak bisa berpikir lain lagi selain mencari anak saya. Perusahaan yang telah saya bangun sampai terbengkalai tanpa nakhoda.

Maka saya pun mulai mencari anak saya. Saya muat berita kehilangan di surat kabar, televisi, selebaran di pinggir jalan, dan membayar orang suruhan. Namun, hasilnya nihil. Harta saya habis. Perusahaan mengalami gulung tikar. Saya tertekan, frustasi. Sampai akhirnya, Maria menemui saya. Dia adalah sahabat karib istri saya. Mariana Sulardi, si pengusaha sukses seperti yang teman-teman kenal memberikan suntikan motivasi kepada saya untuk bangkit. Rasa solidaritasnya dengan istri saya menggerakkannya untuk membantu saya. Ternyata, usaha yang kini ia geluti adalah campur tangannya dengan istri saya.

Kami pun menikah. Walau begitu, usaha pencarian anak saya tak pernah berhenti. Maria juga turut membantu saya. Namun, semuanya gagal. Baru kemudian, muncul ide gila dari benak saya. Saya harus menjadi orang tersohor yang menjadi fokus media. Saya harus melakukan sesuatu yang besar, agar semua mata melihat saya. Saya mencalonkan diri menjadi wakil rakyat.

Saya masuk ke dalam keanggotaan partai penguasa. Dengan nama besar istri saya, saya dengan mudahnya menduduki posisi penting dan berhak mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Jalan saya mulus. Walau saya tidak mempunyai basic politik yang bagus, saya terpilih juga menjadi satu wakil. Karena basic politik yang buruk inilah menyebabkan saya tidak mendapat sorotan media dan hanya menjadi figuran dalam “wahana permainan politik” ini. Ide gila lain muncul, saya harus korupsi. Karena jika saya berhasil korupsi, saya akan ditangkap KPK dan penangkapan saya nanti akan diekpos media secara besar-besaran. Dan itulah waktu yang tepat untuk saya berbicara, tentang anak saya.

Proyek pembangunan jalan tol di kota Bonamana saya upayakan sekuat tenaga supaya saya yang memegangnya. Semesta mendukung, proyek ini berhasil saya dapatkan. Dana saya ambil, korupsi saya terus mengalir. Uang tersebut saya simpan di kamar saya, dan rencananya setelah pengakuan ini akan saya kembalikan. Uang tersebut masih utuh. Tak kurang”.

Tanya salah seorang wartawan, “Lalu, siapa nama anak Anda?”

“Anak saya bernama Alyandra Restu Arjuna”.

 

Sendok yang aku pegang, jatuh. Dengan terbata, aku berkata, “Papa……”.

 

 





Komentar

Postingan populer dari blog ini

AWE SAMBAT #4

  Tuhan, pengen nabung nih. Banyak yang pengen saya lakukan. Butuh banyak uang. Boleh minta kerjaan? Tuhan pun ngasih kerjaan. . . Orang sukses: Alhamdulillah, ada kerjaan. Kerja kerja kerja! Selesai. Me: Alhamdulillah, ada kerjaan. Tapi, nanti aja deh. Lagi mager. Besoknya. DL masih lama. Ntar aja. Besoknya lagi. Ntar aja pas mepet DL. Pas udah DL. Ya ampun, gimana nih? Ak kudu mulai dari mana? *** Kaya gitu kok suka ngeluh hidup "cuma gitu-gitu aja". Flat. Monoton. Ya emang kamunya (kamu, We) ga ada aksi. Ga mau berubah. Udah gitu masih bisa senyam-senyum pula. Gila!

TERNYATA, SAYA ADALAH MANUSIA BUSUK BAGI BEBERAPA ORANG

Pernah ga sih merasa bahwa di dalam hidupmu yang kamu pandang baik-baik saja itu, ternyata kamu busuk bagi beberapa orang? Tanpa sengaja sikap, tutur, atau tulisanmu menyinggung yang lain. Itu yang sedang saya renungi sekarang. Jangan-jangan ... sering orang tersinggung dengan apa yang saya lakukan, apa yang saya tampilkan, apa yang saya tuliskan? Berkaca pada hubungan sosial saya dengan lingkungan. Ada teman yang bersikap B aja selayaknya teman. Ada yang memperlakukan saya bak senior. Dan ... ada yang dingin sama saya. Dan saya ingin membicarakan yang bersikap dingin sama saya ini. Saat pertama menyadari sikapnya, saya begitu benci. Saya pikir, "Kenapa ni anak kok beda banget klo sama saya? Sama yang lain bersikap B aja. Tapi klo sama saya kok serasa ada tembok tinggi? Kaku." Saya menyalahkan dia. Saya menyalahkan sikapnya. Sampai akhirnya, sampailah di pemikiran: Eh, kayaknya yang salah saya deh. Jangan-jangan, selama ini saya memperlakukan

BACKPAKER KE NEGERI JIRAN: MALAYSIA

Hai, hai, halo. Mau cerita tipis-tipis nih tentang "petualangan" saya ke Negeri Jiran dua tahun lalu. Iya, tahun lalu. Tapi, baru sempet nulisnya sekarang. Hahahaha. Kelihatan banget malesnya. Alhamdulillah, salah satu mimpi masa kecil #haish tercapai juga. Dari kecil saya tuh ngefans banget sama Riani Djangkaru. Si cewek tomboy, suka dolan, setrong, dan UWOW bangetlah di mata saya. Dulu doi jadi "pemeran utama" program JEJAK PETUALANG. Weslah, ya, intermezonya. Setelah paspor dan tiket ada di tangan, berangkatlah saya dan 5 temen saya ke Negeri Jiran. Kami berenam cewek semua. Tiga berangkat dari Solo, satu dari Surabaya, dan dua dari Jakarta. Kami berkumpul dan berangkat dari Bandara Soetta. Berangkat tengah malam, jadilah kami ngompreng dulu di Soetta. Maklum, janjian ketemuan jam 8 malam. Pesawat berangkat 00.30. Kan mayan kan ngomprengnya. Ngobrol ngalor-ngidul. Hingga datanglah waktu kudu antre panjang buat pemeriksaan tiket sama paspor. Alhamdulillah, s