Langsung ke konten utama

Luka Ini Hanya Sementara, Sedih Ini Tak Akan Lama

 Saya selalu merasa bukan teman baik. Bukan anak baik.


Bukan orang baik.


Saya jarang (tepatnya tidak mau) berekspektasi kepada orang lain. Tidak berekspektasi diperlakukan baik. Mendapat perlakuan baik. Saya takut kecewa. Saya takut, takut akan karma (atas apa yang sudah saya lakukan sebelumnya).


Namun, kini mulai saya sadari. Saat saya sedih. Saat saya berada di titik rendah hidup, saya melihat banyak orang bersimpati. Melihat banyak orang berdoa untuk kami.


Saya bukan orang baik.

Dan saya malu.


Maaf, karena selama ini saya tidak bersikap baik.


Banyak sekali kebaikan, doa baik, support yang ditujukan kepada saya dan ibuk.


Ada keluarga dekat yang tak berhenti memberi semangat, saya tidak kesepian saat harus isolasi mandiri dengan ibuk. Keluarga tetap menganggap kami ada. Menganggap kami baik-baik saja. Sehat. Tidak kurang satu apa. Tidak takut bertatap muka.


Dan ...

Sampai hari ini tak berhenti doa, semangat, perhatian yang diberikan teman-teman. Bahkan teman yang dulu pernah satu kelas, sekolah bareng, memberikan kesaksian bahwa bapak saya orangnya ramah, murah senyum. Terima kasih telah hadir dan berkenan mendoakan bapak.


Selain filosofis, saya memang orangnya melankolis. Pemikir juga. Kenangan teman-teman sekolah saya yang pernah main ke rumah, ketemu bapak, tiba-tiba berkeliaran di kepala. 


Mau tak mau. Memori masa lalu hadir kembali.


Ya. 

Seperti halnya manusia.

Bapak adalah orang baik untuk sebagian orang.

Bapak bukan orang baik untuk sebagian lainnya.

Namun, lepas dari itu semua ... Tentu bapak berhak mendapat doa yang (semoga) bisa melapangkan kuburnya.


Saya baca setiap komentar teman-teman. Saya baca setiap doa yang teman-teman tulis.


Sungguh, saya baca berkali-kali. Ada momen saya menangis saat membacanya. Ada momen saya tersenyum membacanya. Ada momen hati terenyuh membacanya.


Kepada ...

Bapak, ternyata banyak orang yang sayang sama kita, Pak.

Ibuk, alhamdulilah teman-teman Wulan ndak berhenti mengirim doa.

Dan teruntuk diriku, lihat, betapa banyak orang baik di sekitarmu. Jangan merasa sendirian. Jalan (insyaallah) masih panjang.


Luka ini hanya sementara.

Sedih ini tak akan lama.

Dan ... insyaallah ada kejutan baik di ujung jalan sana.


Sekali lagi, terima kasih atas segala dukungan dan doa.

Sangat berarti.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Banyak Ditentang, Sebenarnya Childfree Itu Sebuah Ancaman Atau Ketidaksiapan Atas Perbedaan?

Ada netizen yang upload foto anaknya 24/7, society fine-fine saja. Namun, ketika ada seorang netizen upload pendapat pribadi, di lapak sendiri, testimoni pribadi pula, dianggap sebagai ancaman. Yakni seseorang yang memilih Childfree!!! Padahal kalau dipikir-pikir,  manusia itu makhluk dinamis. Apa yang dipikirkan detik ini, belum tentu lima menit berikutnya masih disepakati. Manusia itu makhluk terlabil sedunia, Beb. 😁 No offens, ya Ges ya. Ak cuma menyoroti kenapa kita enggak siap menerima perbedaan. Soal perlakuan bar-bar Gitasav juga, pernah enggak kalian riset atau apa, ya, istilahnya, merenung #halah kenapa seorang Gitasav bisa sebrutal itu ke netizen? Lelahkah ida? Karena jauuuuh sebelum masalah childfree, ada soal ‘stunting’ juga yang dia sebut, dia juga sudah sering diserang dan dikata-katain. Hehe Istilahnya, ojo jiwit yen ora gelem dijiwit. Pas Gitasav nyerang balik, eh, netijen baper ✌️🫢🏻 Eh, ini saya bukan lagi membela ea. Cuma mencoba melihat dari 2 sisi. Soalny...

KENAPA ORANG LEBIH SUKA NGASIH NASIHAT KETIMBANG SEMANGAT?

 Netijen: Lebay banget sih, gitu aja distatusin? Lo kere ya? Sampai ga bisa makan? Me: Anjay. πŸ˜‚ Cara tiap orang mengelola emosi, cara orang menghadapi masalah diri, cara orang untuk 'ngomong' itu beda-beda keleus. Kalau kamu tipe penyabar, tipe diem doang saat dihadapkan sama masalah yang sama kaya saya, ya monggo. Dipersilakan. Saya malah salut. Karena orang sabar disayang Tuhan. Saya punya cara sendiri. Urusan ga sabar, urusan ga disayang Tuhan, itukan hak prerogatif Tuhan.  Kasus beda perlakuan, beda cara memperlakukan warga, tetangga, itu udah jadi persoalan klasik di setiap masyarakat. Hambok deloken chat di WhatsApp ku. Isine wong do curhat. Cuma mereka orangnya sabar, jadi diem aja.  Saya ga masalah kok engga dapat beras, engga dapat sembako, saya punya duit. Alhamdulilah.  Yang jadi masalah adalah ... beda perlakuan. Kenapa harus membeda-bedakan? Berarti kasus ada tetangga mati sampai berhari-hari itu karena kasus kaya gini? Alhamdulillahnya, kemarin Pak RT ...

AWE SAMBAT #4

  Tuhan, pengen nabung nih. Banyak yang pengen saya lakukan. Butuh banyak uang. Boleh minta kerjaan? Tuhan pun ngasih kerjaan. . . Orang sukses: Alhamdulillah, ada kerjaan. Kerja kerja kerja! Selesai. Me: Alhamdulillah, ada kerjaan. Tapi, nanti aja deh. Lagi mager. Besoknya. DL masih lama. Ntar aja. Besoknya lagi. Ntar aja pas mepet DL. Pas udah DL. Ya ampun, gimana nih? Ak kudu mulai dari mana? *** Kaya gitu kok suka ngeluh hidup "cuma gitu-gitu aja". Flat. Monoton. Ya emang kamunya (kamu, We) ga ada aksi. Ga mau berubah. Udah gitu masih bisa senyam-senyum pula. Gila!