Langsung ke konten utama

Kematian yang Tidak Diketahui Banyak Orang

 


Senin, 12 April 2021 adalah hari pertama saya jadi anak yatim. Ya, bapak saya meninggalkan saya dan ibu lebih dulu. Sudah cukup bapak berjuang sendirian. Sakit sendirian. Semoga sakitnya bapak bisa menjadi jembatan penggugur dosa-dosa beliau. Aamiin.


Bapak meninggal pukul 07.30. Setelah berjuang di ruang ICU satu setengah hari. Dan lagi-lagi, sendiri. 


Bapak mungkin sudah menyerah. Bapak mungkin sudah tidak tahan. Karena pasti sakit sekali rasanya.


Kematian bapak meninggalkan kesedihan mendalam untuk saya dan ibuk. Ibuk masih tidak menyangka bahwa hari Selasa, bakda Maghrib, saat ibuk membantu bapak mengancingkan baju batiknya adalah momen bakti terakhir ibuk untuk bapak.


Dan saya juga tidak menyangka, bahwa SMS bapak pada hari Kamis adalah obrolan terakhir saya dengan bapak. 


Andai saya tahu bapak pergi secepat ini, tentu saja saya akan memperlakukan bapak dengan baik. Lebih baik. Sungguh, saya bukan orang baik. Bukan anak baik. Saya menyesal tidak punya banyak kenangan baik dengan bapak. 


Kematian bapak menjadi pukulan terberat untuk saya dan ibuk. Setelah sepupu saya menelepon bahwa bapak sudah ndak ada, saya kabari saudara-saudara yang rumahnya cuma di samping rumah saya.


Saudara-saudara saya langsung memeluk dan membesarkan hati saya dan ibuk, supaya kuat. Supaya tabah. Supaya legowo. Biar bapak tenang.


Tidak ada acara pemakaman seperti orang-orang. Tidak diizinkan. Biar ndak ada kerumunan.


Tidak ada siaran lelayu di masjid. Tidak diizinkan.


Jenazah bapak ditunggu dan disambut oleh saya, ibuk, keluarga dekat, tetangga-tetangga super baik, serta takmir masjid.


Pukul 13.00 jenazah berangkat dari RS Kustati. Pukul 13.30 mobil jenazah berhenti di depan masjid. Alhamdulillah, bisa disalatkan oleh keluarga dan warga.


Seusai disalatkan, jenazah bapak diambil alih oleh satgas covid. Disalatkan lagi oleh beliau-beliau. Setelah itu jenazah bapak dibawa ke makam. Dikubur dengan baik. Setelahnya, didoakan oleh petugas. Masyaallah. 


Ya. Bapak ketika masuk IGD didiagnosis terkena pneumonia dan pembengkakan jantung. 

Setelahnya, diswab. Dan ternyata bapak positif covid.


Minggu pagi saat dikabari hasilnya, saya paham, mental bapak tentu kena. Sudah sakit, masih ditambah dengan kenyataan yang pahit. Setelah hasil keluar, bapak semakin ngedrop, dan masuk ruang ICU.


Saya ndak akan sok-sokan bilang: kamu harus percaya covid itu ada. Atau covid itu bla, bla, bla.


Yang saya tahu hanya ....

Gara-gara covid, saya ga bisa nunggu bapak sakit. 

Gara-gara covid, saya ga bisa lihat wajah Bapak untuk yang terakhir kali.

Gara-gara covid, tidak ada acara pemakaman 'lumrah' untuk bapak, bahkan untuk menyetel ayat-ayat Alquran ndak boleh. Benar-benar sepi.

Gara-gara covid, saya dan ibuk harus isolasi mandiri di rumah.

Gara-gara covid, Ramadhan kali ini, menjadi Ramadhan pertama saya tanpa bapak.

Gara-gara covid, Ramadhan kali ini saya dan ibuk tidak bisa salat tarawih di masjid.


Namun, tentu ada hikmah yang bisa saya dapat.

Pertama, saya sadar bahwa saya ternyata sayaaaaaaang sekali sama bapak. 

Sebagai orang Islam, biarpun bapak sudah ndak ada, saya masih bisa berbakti sama bapak. Saya masih bisa mendoakan bapak supaya diampuni dosa-dosanya. Saya masih bisa mengirim hadiah pahala untuk bapak.


Bapak itu orangnya rajin. Kalau tetangga ada yang meninggal, bapak selalu sigap melayat. Bahkan sering ikut Pak Modin bantuin mengafani. 

Kalau ada orang punya hajat, bapak ga pernah absen ikut bladahan, brokohan.

Bapak itu orangnya semangat.

Dan saat kepergiannya, bapak ga mau merepotkan banyak orang. 

Proses pemakaman bapak juga tergolong cepat.

Pukul 07.30 bapak ndak ada. Pukul 10.30 pihak rumah sakit bilang, sudah siap. Tinggal nunggu makamnya siap jam berapa. 

Jam 1 makam siap, jenazah bapak berangkat. Pukul 13.30 sampai depan masjid. Disalatkan, disemayamkan dengan baik.

Prosesnya Masya Allah lancar.


Bapak, masih ada banyak orang baik yang juga sayang sama bapak.


.

.

.


Tidak bisa komunikasi, tidak bisa lihat kondisi bapak saat di ruang isolasi dan ICU selalu membuat saya menangis tiap kali mengingatnya. 


Kadang muncul pikiran, andai saya ga bawa bapak ke RS. Andai saya lebih perhatian sama bapak. Andai saya memperlakukan bapak dengan lebih baik lagi.

Tujuan saya bawa bapak ke rumah sakit agar bapak bisa diobati. Dapat obat. Bisa sembuh. Lalu kami bertiga bisa berkumpul kembali. Namun ... Ternyata takdir berkata lain.


Maaaaassih banyak bentuk penyesalan lain yang selalu saya getuni sampai saat ini.


Tapi, apa pun itu ... Tinta sudah mengering di lauhul Mahfuz.


Mau dibawa ke RS atau di rumah. Umur bapak juga sudah digariskan hanya sampai kemarin lusa. Sudah takdirnya.


Toh, kalau di rumah, pasti bapak harus lebih menahan rasa sakit lagi. Karena di rumah ndak ada selang oksigen mumpuni. Ndak ada infus. Ndak ada obat yang dibutuhkan bapak.


.

.

.


Akhir kata, percaya sama saya ... ungkapan: sayangi orang tuamu selagi ada itu ... Ternyata bukan ungkapan biasa. Kamu akan paham jika sudah ditinggal. 


Saat kamu ga bisa ngobrol lagi. Ga bisa ketemu lagi. Ga bisa menyentuhnya lagi.


Jangan sampai kaya saya. 


Sayangi orang tuamu sebaik-baiknya. Sesayang-sayangnya. Salah satu sumber surga. Salah satu jalan surga.


PS: 

*terima kasih untuk Yanuar, sepupu yang udah kaya adik kandung saya sendiri, yang mau saya repoti dari awal sampai akhir. Dari bapak masuk IGD, sampai ngurus jenazah bapak. Sehat-sehat ya, le. Lemah teles. Gusti Allah Ingkang Bales.

*terima kasih untuk perawat-perawat bangsal Al afiyah berkenan selalu memberi tahu kondisi bapak

*terima kasih untuk saudara-saudara saya. Yang berani ketemu saya dan ibuk. Yang mengurus saya dan ibuk dengan baik. Terutama sejak pertama isolasi mandiri.

*terima kasih kepada takmir masjid Almuqarrabin yang berkenan ikut menyolatkan bapak. 

*terima kasih kepada tetangga-tetangga baik yang sudah ikut membantu proses pemakaman bapak, ikut mendoakan bapak, ikut menangis saat melihat mobil jenazah bapak.

*terima kasih teman-teman yang sudah mendoakan bapak saya. 


Matur nuwun


Jazakumullah khairan katsir.


Sehat-sehat ya kalian.

Semoga puasaku, puasamu, puasa kita diterima oleh Allah Swt.


Minta kiriman Al-Fatihahnya ya untuk bapak. Namanya Pak Sungadi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Banyak Ditentang, Sebenarnya Childfree Itu Sebuah Ancaman Atau Ketidaksiapan Atas Perbedaan?

Ada netizen yang upload foto anaknya 24/7, society fine-fine saja. Namun, ketika ada seorang netizen upload pendapat pribadi, di lapak sendiri, testimoni pribadi pula, dianggap sebagai ancaman. Yakni seseorang yang memilih Childfree!!! Padahal kalau dipikir-pikir,  manusia itu makhluk dinamis. Apa yang dipikirkan detik ini, belum tentu lima menit berikutnya masih disepakati. Manusia itu makhluk terlabil sedunia, Beb. 😁 No offens, ya Ges ya. Ak cuma menyoroti kenapa kita enggak siap menerima perbedaan. Soal perlakuan bar-bar Gitasav juga, pernah enggak kalian riset atau apa, ya, istilahnya, merenung #halah kenapa seorang Gitasav bisa sebrutal itu ke netizen? Lelahkah ida? Karena jauuuuh sebelum masalah childfree, ada soal ‘stunting’ juga yang dia sebut, dia juga sudah sering diserang dan dikata-katain. Hehe Istilahnya, ojo jiwit yen ora gelem dijiwit. Pas Gitasav nyerang balik, eh, netijen baper ✌️🫢🏻 Eh, ini saya bukan lagi membela ea. Cuma mencoba melihat dari 2 sisi. Soalny...

KENAPA ORANG LEBIH SUKA NGASIH NASIHAT KETIMBANG SEMANGAT?

 Netijen: Lebay banget sih, gitu aja distatusin? Lo kere ya? Sampai ga bisa makan? Me: Anjay. πŸ˜‚ Cara tiap orang mengelola emosi, cara orang menghadapi masalah diri, cara orang untuk 'ngomong' itu beda-beda keleus. Kalau kamu tipe penyabar, tipe diem doang saat dihadapkan sama masalah yang sama kaya saya, ya monggo. Dipersilakan. Saya malah salut. Karena orang sabar disayang Tuhan. Saya punya cara sendiri. Urusan ga sabar, urusan ga disayang Tuhan, itukan hak prerogatif Tuhan.  Kasus beda perlakuan, beda cara memperlakukan warga, tetangga, itu udah jadi persoalan klasik di setiap masyarakat. Hambok deloken chat di WhatsApp ku. Isine wong do curhat. Cuma mereka orangnya sabar, jadi diem aja.  Saya ga masalah kok engga dapat beras, engga dapat sembako, saya punya duit. Alhamdulilah.  Yang jadi masalah adalah ... beda perlakuan. Kenapa harus membeda-bedakan? Berarti kasus ada tetangga mati sampai berhari-hari itu karena kasus kaya gini? Alhamdulillahnya, kemarin Pak RT ...

AWE SAMBAT #4

  Tuhan, pengen nabung nih. Banyak yang pengen saya lakukan. Butuh banyak uang. Boleh minta kerjaan? Tuhan pun ngasih kerjaan. . . Orang sukses: Alhamdulillah, ada kerjaan. Kerja kerja kerja! Selesai. Me: Alhamdulillah, ada kerjaan. Tapi, nanti aja deh. Lagi mager. Besoknya. DL masih lama. Ntar aja. Besoknya lagi. Ntar aja pas mepet DL. Pas udah DL. Ya ampun, gimana nih? Ak kudu mulai dari mana? *** Kaya gitu kok suka ngeluh hidup "cuma gitu-gitu aja". Flat. Monoton. Ya emang kamunya (kamu, We) ga ada aksi. Ga mau berubah. Udah gitu masih bisa senyam-senyum pula. Gila!