Jika kamu adalah seorang wanita, usia mendekati 30 tahun, dan kamu belum menikah, pastilah ada banyak ... entah itu cibiran, pertanyaan seputar kapan nikah, hingga tekanan dari keluarga sendiri.
Ditambah lagi, kamu anak
satu-satunya, tekanan yang datang akan lebih besar lagi.
Sering saya mendapat bully-an:
1. Umur udah banyak kok belum nikah, ibarat kayu, kamu udah lapuk.
2. Jadi orang ga usah banyak maunya, ga usah ketinggian tipe cowoknya, kamu ntar jadi perawan tua.
3. Jodoh itu di tangan Tuhan, tapi klo kamu susah diatur, ya, jodohmu bakalan terusan di tangan Tuhan.
WHAT THE FUCK!
Sering saya mendapat bully-an:
1. Umur udah banyak kok belum nikah, ibarat kayu, kamu udah lapuk.
2. Jadi orang ga usah banyak maunya, ga usah ketinggian tipe cowoknya, kamu ntar jadi perawan tua.
3. Jodoh itu di tangan Tuhan, tapi klo kamu susah diatur, ya, jodohmu bakalan terusan di tangan Tuhan.
WHAT THE FUCK!
Jujur ... ada banyak hal yang
membuat saya belum berpikir untuk menikah. Ya, banyak hal. Yang jika dirangkum
dalam satu kalimat, ialah: SAYA BELUM BERDAMAI DENGAN DIRI SAYA SENDIRI.
Mengapa demikian?
Banyak pikiran yang menjejal di
otak saya. Di antaranya:
1. Orang tua saya, bukanlah orang tua ideal. Dan saya tidak
menemukan role model yang bagus dari mereka. Dan itu menyebabkan trauma
tersendiri untuk saya. Bertengkar setiap hari, tidak pernah ada yang mau
mengalah, saling menyalahkan, saling berkata kasar. Saya benci waktu Subuh. Waktu
di mana keheningan masih menyelimuti. Dan setiap Subuh selalu saya dengar
kata-kata kasar dari mulut mereka. Bertengkar.
Saya malu. Malu kepada tetangga. Dan itu cukup membuat luka di hati saya.
2. Keluarga saya keluarga miskin. Rumah saya jelek. Sangat jelek. Sampai
usia saya yang mau menginjak kepala tiga, tidak pernah saya lihat orang tua saya
berpikir untuk memperbaiki rumah. Entah, saya tidak tahu apa prioritas mereka. Toh,
sekolah juga saya dapat bantuan dari mana saja. Saya anak beasiswa, sejak SMP. Mungkin
karena kemiskinan sudah mendarah daging di tubuh kami. Mungkin, karena
kebodohan kami. Tak bisa seperti keluarga lain yang mau berusaha keras
memikirkan bagaimana cara memperbaiki nasib. Kami terlalu mudah menyerah. Dan sifat
buruk itu menurun kepada saya. SHIT!
3. Bapak saya dibenci banyak orang. Keluarga, tetangga, bahkan
orang yang baru kenal. Saya? Jelas, saya sangat membenci dia. Tidak ada 1 pun
hal yang bisa membuat saya kagum. Saya enggan berbicara dengannya. Karena mau
berbicara dalam konteks dan kondisi apapun, ujung-ujungnya kami pasti
bertengkar. Dan setiap kalimat yang keluar dari mulutnya sangat buruk. Dia tidak
pernah berbicara baik. Jika ada petuah yang bilang: KATA ADALAH DOA. Bisa jadi,
alasan mengapa KAMI TETAP MISKIN DAN GINI-GINI AJA, ya karena kata-kata dia. Selalu
pesimis dan berbicara buruk.
4. Poin 1-3 di atas membuat saya INSECURE. Wajah saya ga
cantik, keluarga saya kolot, dan saya miskin. Bahkan, ketika saya sudah kerja
pun, uang yang saya hasilkan tidak banyak. Saya tidak seperti anak lain yang
bisa membanggakan orang tua mereka. Uang jatah bulanan yang saya beri, sedikit.
Saya merasa saya anak yang buruk. Saya belum bisa merenovasi rumah. Saya tidak
bisa memberi uang banyak. Saya ingat, waktu saya remaja, ayah saya pernah
mengatakan bahwa saya itu ANAK SIAL. Jika dipikir, mungkin ada benarnya. Karena
saya pemalas, tapi ingin punya uang banyak. Saya selalu overthinking terhadap
segala sesuatu. Dan, saya ga berguna.
Ah, saya jadi
ingin cerita hal lain. Ada satu teman saya, yang selalu bilang bahwa saya
adalah EKSTROVERT SEJATI. Mungkin karena pembawaan saya yang supel. Saya mudah
beradaptasi dengan orang baru. Dan saya suka cerita. Saya suka ngobrol banyak
hal.
Saya dulu
tidak seterbuka ini. Sejak kecil sampao SMA, saya cukup tertutup. Saya tidak
punya banyak teman. Saya ga ada kesempatan ngobrol tentang diri saya sendiri
dengan teman. Saya orangnya minderan parah. Karena rumah saya jelek. Jadi saya
tidak mau berteman. Zaman dulu, jika temenan, biasanya saling dolan ke rumah. Saling
berkunjung ke rumah teman. Dan saya benci jika ada teman yang dolan ke rumah
saya. RUMAH SAYA JELEK, DAN SAYA MALU.
Sampai suatu
hari, entah apa yang memotivasi, saya dekat dengan seorang tetangga yang
usianya terpaut 9 tahun dengan saya. Dia wanita yang pintar, supel, humble. Mungkin
sudah takdir. Akhirnya saya mulai terbuka dengannya. Ditambah lagi, kelas 3
SMA, saya kena tumor jinak. Ada sebuah artikel yang saya baca menyebutkan bahwa tumor
bisa terjadi jika kita sering memendam sesuatu dalam jangka waktu yang lama. Ya, saya memang
memendam sesuatu. Trauma masa kecil tentang kondisi orang tua, tentang rasa
malu karena rumah saya jelek, tentang ayah dan ibu saya yang karakternya buruk
dan tidak bisa saya teladani.
Sejak kenal
dengan teman saya tadi, entah kenapa, dalam hati, saya kagum dan bertekad: saya
ingin jadi orang supel juga sepertinya. Banyak teman. Disukai banyak orang.
Kembali lagi
ke masalah, kenapa belum nikah? Saya belum bisa menerima kondisi saya dengan
baik. Baik saya sendiri, kondisi keluarga, kondisi ekonomi. Saya malu, kepada
suami saya kelak. Karena ortu saya berperangai buruk. Karena rumah saya jelek. Pun,
perangai buruk ortu saya menurun ke saya. Saya takut suami saya kelak tidak
betah. Dan ... akhirnya ... kami malah pisah.
Jika ditanya,
apa tidak ingin hidup dengan orang lain? Jika sudah menikah, akan ada partner
yang bisa diajak ngobrol, diskusi.
Untuk saat
ini, saya masih berada di fase, saya bisa hidup sendiri. Bahkan sampai 10 tahun
lagi. Sejak TK sampai sekarang, saya sudah terbiasa sendiri. Saya masih TK lho, setiap kali bangun tidur, di rumah tinggal saya seorang. Ayah saya suka merantau, walau pas pulang
ga pernah bawa apa-apa. Ibu saya, karena ayah saya ga pernah memberi dia
nafkah, akhirnya harus jualan di pasar. Bakda subuh sudah berangkat. Jadilah saya,
sejak TK, selalu bangun sendiri, sarapan sendiri, mandi sendiri, berangkat
sekolah sendiri. Sarapan ditemani ibu,
bisa dihitung dengan jari. Ya, sampai umur saya 29 tahun ini, sarapan bersama
ibu benar-benar momen langka.
Saya sudah
terbiasa sendiri. Saya sudah terbiasa memutuskan apapun sendiri. Saya pun bisa
cari uang sendiri. Dan saya tipe orang tidak mau diatur. Tidak mau dikontrol. Ibu
saya sampai kena hipertensi karena punya anak kaya saya. Saya susah diatur. Ibu
ingin saya segera nikah, tapi saya ga pernah berpikir mau nikah. Saya enggan hidup seperti ibu, kerja keras sendiri menghidupi anak dan keluarganya. Hidup dengan suami yang TIDAK BERTANGGUNG JAWAB. TIDAK PAHAM HAK DAN KEWAJIBANNYA.
Sedari kecil saya ga pernah disuruh melakukan pekerjaan rumah tangga. Hingga sekarang, ibu saya sakit. Perkiraan saya, ibu kena gejala stroke ringan, saya hampir-hampir ga pernah membantu. Masak, nyapu, nyuci. Saya tetap jadi pemalas. Saya tetap jadi manusia tidak berguna. Saya tahu ini salah, tapi entah ... sifat bebal saya memang sudah parah.
Sedari kecil saya ga pernah disuruh melakukan pekerjaan rumah tangga. Hingga sekarang, ibu saya sakit. Perkiraan saya, ibu kena gejala stroke ringan, saya hampir-hampir ga pernah membantu. Masak, nyapu, nyuci. Saya tetap jadi pemalas. Saya tetap jadi manusia tidak berguna. Saya tahu ini salah, tapi entah ... sifat bebal saya memang sudah parah.
Dengan kepribadian
seperti ini, saya mau nikah? Oh, no. Saya cukup sadar diri. Hidup saya sudah
cukup berantakan. Sifat saya sangat buruk. Sangat tidak fair untuk suami saya
nanti, jika harus mendapat jatah istri semacam saya.
Cita-cita
saya, adalah jadi relawan, atau ... hidup nomaden. Saya tidak mau menetap di
satu tempat. Entah, kelak saya ... jika sudah tua, entah saya akan mati di
mana. Saya tidak peduli. Saya benci saat saya harus menjadi alat untuk memenuhi
ekspektasi dan kebahagiaan orang. Saya ingin hidup dengan cara saya sendiri. Karena
hal ini, tak bisa dipungkiri, saya pasti akan dimasukkan ke dalam golongan anak
durhaka, orang sesat, atau ... wanita brengsek.
Saya tidak
pernah menangis gara-gara belum nikah. Saya hanya menangis jika saya ga punya
uang, dituntut untuk mencapai sesuatu, dan ... harus menjadi sosok yang
orang lain mau.
Biar. Biarkan saya
... saya percaya bahwa people change. Akan ada kemungkinan pikiran-pikiran
saya ini akan berubah. Tak ada jaminan bahwa saya akan terus hidup dengan cara
saya ini. Mungkin akanaakan saatnya saya mulai terbuka ... mulai butuh orang lain
untuk jadi partner hidup. Mulai sadar bahwa saya sudah terlalu jauh ‘durhaka’
kepada ortu saya. Mulai sadar bahwa ... saya sudah berubah. WHO KNOWS? (walau) ENTAH KAPAN.
Komentar
Posting Komentar