Langsung ke konten utama

Benarkah Kita Hidup Hanya Mencari Bahagia?

 


20 Januari 2023 lalu, desa saya berduka. Karena salah satu perangkat desa saya wafat karena laka air.

Sebagian orang berpikir:

1. Mesakne meninggal merga tenggelam

2. Mesakne bojone urip dewean

3. Mesakne urung tua kok wes dipundut

Dan segala bentuk keprihatinan yang lain.

Wajar.

Namun, ada satu hal yang orang lupakan. Bahwa meninggal itu pasti. Hanya saja kita tidak tahu dengan cara apa dan di mana.

Alm. Pak Broto (menurut saya) meninggal dalam keadaan indah.

Memang, kematian selalu menyisakan luka bagi mereka yang ditinggal. Tapi, saya menggarisbawahi bahwa beliau meninggal dengan cara yang indah.

Pagi-pagi beliau sudah membantu istrinya jualan. Kemudian beliau berangkat ke sawah (dalam rangka mencari nafkah). Qodarullah, terpeleset ketika mengatur saluran irigasi untuk pengairan sawah.

Meninggal pada hari Jumat pula.

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, "Orang yang mati syahid ada lima macam, yaitu orang yang kena tha'un (wabah), orang yang mati karena sakit perut, korban tenggelam, korban yang tertiban reruntuhan, dan orang syahid di jalan Allah.” (HR Bukhari dan Muslim).

InsyaAllah,  alm. Pak Broto wafat dalam keadaan husnul khatimah.

Swargi langgeng, nggih, Pak.

Beberapa kali ketemu di kelurahan. Bapaknya murah senyum. Dan tak jarang menyapa lebih dulu, kemudian bertanya keperluannya apa.

Kita tidak pernah tahu kapan mau tiba.

Namun, kita selalu diberi kesempatan mengambil hikmah dari setiap berita kematian yang datang kepada kita.

Menyambung dengan berita duka tadi, beberapa waktu belakangan ini saya benar-benar sedang berpikir tentang hidup. Salah satunya: benarkah kita hidup hanya mencari bahagia?

Lantas, jika tidak mencapai ke titik tersebut, apakah hidup kita itu gagal?

Saya berpikir dan berpikir.

Sampai mendapat simpulan bahwa: bahagia itu bagian dari hidup. Kesedihan itu bagian dari hidup. Penderitaan itu bagian dari hidup.

Kehilangan adalah bagian dari hidup.

Kekecewaan, kegagalan, kepuasan atas sesuatu itu juga menjadi bagian dari hidup.

Tidak bisa kita hindari, tidak bisa kita sangkal.

So, kenapa kita hanya fokus pada bahagia?

Kenapa tidak menikmati saja setiap fase atau takdir yang datang kepada kita?

Memangnya kenapa jika ada sepasang suami istri ,tapi belum dikarunia anak oleh Tuhan?

Memang apa yang salah dari orang yang diberi sakit?

Semua orang punya perjuangannya masing-masing. 

Kenapa semua hal yang menyedihkan atau tidak sesuai standar sosial itu disebut gagal?

Makin terbuka pikiran saya soal konsep kebahagiaan ini ketika  saya diberi kesempatan oleh Bu Bos untuk mengedit naskah Prof Taufik (dosen UMS(?) yang duet dengan beliau. 

Tulisannya masyaAllah menampar diri saya berkali-kali.

Ada satu hal yang bikin makjleb sejauh ini.

Hedonisme!!!

Yakni pandangan yang menganggap bahwa kenikmatan materi sebagai tujuan pokok dalam kehidupan.

Menurut kaum hedonis, tujuan hidup manusia semata-mata untuk memperoleh kesenangan dan sedapat mungkin untuk menghindari kondisi-kondisi hidup yang menyakitkan.

Hedonisme membagi kehidupan menjadi dua hal, yaitu kesenangan dan kesusahan. Kesenangan untuk diraih, sedangkan kesusahan untuk dihindari. 

Sesuatu dianggap baik apabila dapat mendatangkan kesenangan, dan sesuatu dianggap buruk apabila mendatangkan kesusahan.

Lalu, pertanyaannya:

Bagaimana dengan takdir Tuhan?

Bagaimana jika sepasang suami istri memang tidak diberi keturunan? 

Apakah itu termasuk tidak bahagia?

Bagaimana jika seseorang yang masih muda, tapi sudah diambil oleh Yang Maha Kuasa?

Gaes, hidup tak melulu soal bahagia. Karena kesedihan, penderitaan, ujian, dan masalah itulah yang membuat manusia menjadi kuat dan lebih menghargai hidup.

Ingat-ingatlah: ombak yang kecil tidak akan menciptakan peselancar andal. 

🤗

Selamat menikmati setiap fase dalam hidupmu.

Tidak apa-apa tidak seperti yang lainnya.

Karena kamulah tokoh utama dalam hidupmu, bukan mereka.

Rencana Allah enggak pernah salah, Dear.

Percayalah. 

Akan adalah hadiah indah di ujung jalan nanti. Untuk sekarang, tetap berjalanlah!

Oh, iya.

Sering kali, kita (iya, termasuk saya) membandingnya diri sendiri dengan orang lain dalam rangka mencari pelipur diri.

Misal: mesakne ya si A, urip dewe, ga duwe anak, mending aku.

Mesakne ya si B, wes nikah pirang2 tahun, urung duwe anak, sih mending aku.

Mesakne ya si C, wes tua, ga rabi-rabi, sih mending aku.

Kadang tanpa sadar kita menempatkan orang lain di level yang lebih rendah karena tidak punya sesuatu yang kita punyai.

Atau tidak mencapai di standar yang sudah society ciptakan.

Semua orang dipaksa punya timeline yang sama. 

Semua orang dipaksa punya kisah yang sama.

Semua orang dipaksa punya JALAN HIDUP yang sama.

Percayalah, menikmati hidup sendiri dengan cara menghindari mendang-mending itu lebih bikin hidup jadi hidup.

Karena kita tidak pernah tahu perjuangan dan kepayahan tiap orang. Bagaimana berdarah-darahnya mereka. Tangisan dalam sujud-sujud mereka.

Jika tak bisa menjadi orang baik, paling tidak jangan menyakiti.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngomongin Soal Critical Thinking

  Kemarin lusa, saya ngobrol sama temen soal critical thinking yang engga diajarkan sejak dini. Kami adalah 'korban' orang tua yang menerapkan pola asuh apa-apa engga boleh. Eh, jangan main air, ntar masuk angin.  Eh, jangan main tanah, ntar kemasukan cacing. Eh, jangan ini jangan itu ... Akhirnya, karena sering dilarang-larang dan dilokne, kami jadi males buat eksplor diri. Tanya soal hal-hal baru pun, kami kena semprot. Katanya, kebanyakan tanya. Masih kecil. Hehe. Jadilah ... Kami males tanya-tanya lagi. Dilarang eksplor diri. Dilarang tanya itu ini. Ya, gitu. Akhirnya otak kreatif kami mandeg. Sampai akhirnya ... Pada usia yang engga muda lagi, kami baru berani untuk berani. Hahaha. Baru berani untuk berani. Baru berani eksplor. Nyoba ini-itu. Soalnya merasa udah 'merdeka'. Ga ngrepotin orang tua. Haha. Alhamdulillahnya sih orang tua engga suka cawe-cawe lagi. Mereka membiarkan saya buat eksplor. Melakukan apa aja yang saya mau. Memutuskan apa-apa sendiri. Jadilah d

Apa yang Terjadi dengan Mereka yang Ditinggal Mati?

Rindu. Sudah lebih dari empat puluh hari setelah bapak pergi. Rasanya ... Cuma kaya ditinggal bapak piknik. Rasanya, suatu hari nanti bapak akan kembali.  Berharap tiba-tiba bapak muncul di depan pintu. Suara motor smash-nya kedengeran dari jauh seperti biasa. Lalu motor diparkir di depan pintu. Bapak pun masuk, dengan senyum ramahnya. Bapak, bapak nggak kangen akukah? .... Seperti ada yang hilang.  Seperti ada yang kosong. Seperti ada yang kurang. .... Lalu ... rindu tiba-tiba datang menggebu. Baik yang kurasa, maupun ibu. Bapak yang kemarin masih cerewet, yang suaranya keras, yang suka bercengkerama sama anak-anak kecil, tiba-tiba hilang begitu saja. Tak ada raganya. Tak bisa dipegang. Tak bisa bertatap muka. Apa bapak sedang menatap kami? .... Kepergian bapak membuatku menjadi berpikir kembali tentang hidup. Dulu, saat mendengar kalimat: URIP KUWI GUR MAMPIR NGOMBE (hidup itu cuma mampir minum), nggak terlalu ngeh. Tak terlalu nggagas. Pas bapak udah nggak ada: KOK HIDUP TUH KAYAK M