Langsung ke konten utama

Pengalaman Pertama Donor Darah


Deg-degan, itu pasti.

Jadi, pengalaman ini bermula ketika teman kantor tanya soal golongan darah saya. “Mbak, golongan darahmu apa?”

Aku jawab, “AB, Mbak.”

“Mbak, saudaraku ada yang butuh tranfusi darah. Butuh dua kantong, tapi baru dapet 1 orang. Kamu mau donor nggak, Mbak?”

Emmmm… Saya terdiam sejenak.

Donor nggak, ya?

Aku takut darah.

Emmm…. Belum ada jawaban.

Teman saya masih setia menunggu jawaban dari saya. Cemas jika saya mengatakan “tidak.”

Saya berpikir keras. Selama ini saya takut darah. Selalu lemas begitu melihat darah keluar dari ari yang sangat tipis. Tapi, kemudian saya pikir. Emmm, jika saya berada di posisi itu. Emmm…

Bismillah.

“Iya, Mbak. Aku mau.”

Senyum terkulum dari bibir tebalku. Bismillah. Cara terbaik menghilangkan ketakutan adalah menghadapi ketakutan itu. Semoga dengan pengalaman pertama ini, ketakutan terhadap darah perlahan hilang. Pelan pun tak apa.

Jadilah saya dan teman saya menuju ke salah satu rumah sakit di Solo. Sesampai di situ, kami bertemu dengan si pasien yang butuh tranfusi darah tersebut.

Talasemia.

Ternyata nama penyakitnya. Diderita, lebih tepatnya terdeteksi sejak usia 1 tahun. Sekarang? Usianya 5 tahun. Hampir tiap tahun ‘mondok’ di rumah sakit. Seorang anak perempuan cantik. Super aktif, kata ibunya. Pintar, kata ayahnya. Subhanallah. MahaSuci Allah.

Setelah menerima sampel darah dari rumah sakit, kami segera menuju ke PMI. Di PMI saya bertemu dengan lelaki berkaca mata yang juga akan mendonorkan darahnya untuk si adik. Antre dua. Dan kami pun masuk ruangan pengambilan darah.

Kami dites kembali. Mungkin dokter ingin memastikan, apa benar darah kami AB. Hehe… Dan memang benar. Kemudian ditensi. Tensi saya waktu itu 110-70. Normal. Tetapi di batas terendah. Tidak apa-apa, saya pikir. Toh, saya sudah makan, insya Allah kuat. ^_^

Setelah mencuci tangan, saya pun beranjak menuju pembaringan tempat pengambilan darah. Dokter cantik, yang mungkin masih co-as mengajak berbicara supaya saya tidak tegang. Yah. Wajah saya yang memang selalu tampak bad mood dan cenderung selalu serius, dianggap sebagai bentuk ketegangan pra pencoblosan. Tapi, saya memang benar-benar tegang. Keringat dingin sempat mengucur. Maklum, di bawah AC. Ketegangan bercampur hawa yang dibawa AC menyebabkan tubuh tak karuan.

“Sudah donor berapa kali?”

“Baru sekali ini.”

“Untuk pasien, ya?”

“Iya.”

“Saudara?”

“Bukan.Tapi, saudara teman.”

“Oh.”

Si dokter masih ingin mengajak berbincang. Tapi mungkin sudah kehabisan bahan.

“Berapa lama, ya?” Tanya saya.

“Tergantung. Beda-beda soalnya. Tapi, ada yang sampai satu jam. Karena darahnya tidak mengalir deras.”

“Wah, lama juga, ya?”

“Iya. Tapi, normal 15 menit.”

“Ibu jari berada di dalam ya, Mbak. Terus digenggam yang erat.”

“Iya, Mbak.”

“Tarik napas dalam-dalam, Mbak.”

Saya hirup napas super dalam.

Dan.

Jusss!

Jarum suntik masuk ke urat nadi saya. Darah mengalir ke selang dan berlabuh di kantong darah.

“Kesemutan nggak, Mbak?”

“Iya, Mbak.”

“Jangan tegang ya, Mbak. Rileks.”

“Kesemutan itu karena apa ya, Mbak?”

“Karena tegang, Mbak.”

Saya pun mencoba untuk rileks. Dua puluh menit berjalan. Selesai juga. Cuma butuh waktu dua puluh menit. Tidak selama yang ada di pikiran. Ya. Saya pikir akan memakan waktu sampai satu jam.

TERBUKTI!

Setelah donor darah. Badan terasa ringan. Alhamdulillah, tidak sampai kliyengan. Bangga juga dengan diri sendiri. Minimal, hidup sekali, bisa berarti.

Buat kamu-kamu yang pengen donor, tapi takut. Jangan takut, ya? Donor darah nggak semenyeramkan yang ada di pikiran. Sakitnya cuma pas dimasukkin jarum. Itu pun cuma sedetik dua detik.



Hidup sekali, berarti, lalu mati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AWE SAMBAT #4

  Tuhan, pengen nabung nih. Banyak yang pengen saya lakukan. Butuh banyak uang. Boleh minta kerjaan? Tuhan pun ngasih kerjaan. . . Orang sukses: Alhamdulillah, ada kerjaan. Kerja kerja kerja! Selesai. Me: Alhamdulillah, ada kerjaan. Tapi, nanti aja deh. Lagi mager. Besoknya. DL masih lama. Ntar aja. Besoknya lagi. Ntar aja pas mepet DL. Pas udah DL. Ya ampun, gimana nih? Ak kudu mulai dari mana? *** Kaya gitu kok suka ngeluh hidup "cuma gitu-gitu aja". Flat. Monoton. Ya emang kamunya (kamu, We) ga ada aksi. Ga mau berubah. Udah gitu masih bisa senyam-senyum pula. Gila!

TERNYATA, SAYA ADALAH MANUSIA BUSUK BAGI BEBERAPA ORANG

Pernah ga sih merasa bahwa di dalam hidupmu yang kamu pandang baik-baik saja itu, ternyata kamu busuk bagi beberapa orang? Tanpa sengaja sikap, tutur, atau tulisanmu menyinggung yang lain. Itu yang sedang saya renungi sekarang. Jangan-jangan ... sering orang tersinggung dengan apa yang saya lakukan, apa yang saya tampilkan, apa yang saya tuliskan? Berkaca pada hubungan sosial saya dengan lingkungan. Ada teman yang bersikap B aja selayaknya teman. Ada yang memperlakukan saya bak senior. Dan ... ada yang dingin sama saya. Dan saya ingin membicarakan yang bersikap dingin sama saya ini. Saat pertama menyadari sikapnya, saya begitu benci. Saya pikir, "Kenapa ni anak kok beda banget klo sama saya? Sama yang lain bersikap B aja. Tapi klo sama saya kok serasa ada tembok tinggi? Kaku." Saya menyalahkan dia. Saya menyalahkan sikapnya. Sampai akhirnya, sampailah di pemikiran: Eh, kayaknya yang salah saya deh. Jangan-jangan, selama ini saya memperlakukan

BACKPAKER KE NEGERI JIRAN: MALAYSIA

Hai, hai, halo. Mau cerita tipis-tipis nih tentang "petualangan" saya ke Negeri Jiran dua tahun lalu. Iya, tahun lalu. Tapi, baru sempet nulisnya sekarang. Hahahaha. Kelihatan banget malesnya. Alhamdulillah, salah satu mimpi masa kecil #haish tercapai juga. Dari kecil saya tuh ngefans banget sama Riani Djangkaru. Si cewek tomboy, suka dolan, setrong, dan UWOW bangetlah di mata saya. Dulu doi jadi "pemeran utama" program JEJAK PETUALANG. Weslah, ya, intermezonya. Setelah paspor dan tiket ada di tangan, berangkatlah saya dan 5 temen saya ke Negeri Jiran. Kami berenam cewek semua. Tiga berangkat dari Solo, satu dari Surabaya, dan dua dari Jakarta. Kami berkumpul dan berangkat dari Bandara Soetta. Berangkat tengah malam, jadilah kami ngompreng dulu di Soetta. Maklum, janjian ketemuan jam 8 malam. Pesawat berangkat 00.30. Kan mayan kan ngomprengnya. Ngobrol ngalor-ngidul. Hingga datanglah waktu kudu antre panjang buat pemeriksaan tiket sama paspor. Alhamdulillah, s